Jumat, 25 Desember 2009

KODIM-0609 ; PUNYA WEWENANG APA DI TANAH SENGKETA CIBEUREUM?

Banyak kesewenangan oknum kesatuan militer beroperasi sejak lahan dikosongkan hingga saat ini. Perilaku militeristik tidak berperikemanusiaan dan tingkahlaku oknum kesatuan militer yang pongah dan semena2, seolah dia penguasa wilayah saja.



Saat penggusuran 5 Januari 2006,KODIM0609 lah yang seperti menempatkan diri di garda terdepan pimpro Pasaraya Cibeureum. DANDIM sendiri, Letkol Achmad Saefuddin, yang berdiri di garis terdepan dalam peperangan opini public, yaitu berbicara di media massa. Beliau seperti merelakan diri untuk menjadi jubir pemkot/pihak penggusur, bahkan menyatakan diri sebagai pihak yang diberi wewenang untuk lobby dengan pihak tergusur, mengenai besaran gantirugi penggusuran.


Seorang Ibu, saking tersiksanya, sanggup berceritera saat demonstrasi PILKADA Cimahi, ketika tanpa tolerir RW nya diserbu aparat POLRESTA Cimahi dan KODIM0609, ia sempat dibopong bak sapi ke pejagalan. Kedua tangan dan kedua kakinya ditarik dan dalam keadaan demikian seluruh tubuhnya diboyong dari atas oleh aparat POLRes, hanya gara2 IBu Silaban mempertahankan rumahnya yang tempat kos2an bertingkat tidak dihancurkan oleh aparat kota Cimahi.


Lebih militeristik perilaku aparat dan unsur keamanan gabungan dari POLRESTA, PROVOST, KODIM0609 dengan bulldozer di bawah koordinasi DANDIM0609 Letkol Achmad Saefuddin terhadap warga penghuni, daripada ketika menghancurkan Pasar Antri setahun sebelumnya. Warga hanya bisa menunjukkan protesnya dengan bakar ban yang membuat macet km-an jalan utama menuju perbatasan kota Bandung di sebelah timur.


DANDIM0609 juga selalu tampil terdepan bak jurubicara pihak penguasa dalam berbagai kesempatan, menjanjikan gantirugi yang layak kepada korban gusuran, dan melakukan ‘tawar-menawar’ tariff dengan korban. apa hubungannya KODIM0609 sebagai tentara nasional Indonesia, dengan proyek Pasaraya CIbeureum, sehingga rela akif membaa atau proses penggusuran warga untuk Hj. Alm Ida Neni, bahkan menjadi jurubicara pemkot sebagai otoritas eksekutif tertinggi di lingkungan kota Cimahi? Karena penggusuran saat itu dilakukan atas alasan pengaduan Hj. Neni minta perlindungan dan penguatan hukum eksekusi ke DPRD kota CImahi komisi A, apakah berarti Letkol Achmad Saefudin beserta POLRes dll bertindak demi Hj. Alm Ida Roosliah? Karena juga begitu tanah itu bersih dari rumah dan manusia, dipatoklah papan pengumuman bahwa ‘tanah ini milik Hj. Neni pewaris Alm Ida Roosliah’.


Namun ternyata temuan tim intel menemukan bahwa Hj. Ida/ Neni main bawah tangan, jual beli tanah itu dengan Idris Ismail atas nama PD Jati Mandiri,menggunakan uang APBD kota Cimahi 10 miliar rupiah. Dan beberapa bulan kemudian, isu berubah bahwa di atas tanah tersebut akan dibangun Pasaraya Cibeureum. Atau karena inikah, Letkol Achmad Saefuddin berkolaborasi erat dengan pemkot dan bersama2 bertindak sebagai penguasa atas tanah sengketara tersebut dalam menghadapi warga yang mereka gusur? Tapi kalau memang resmi KODIM0609 bekerjasama dengan Pemkot Cimahi sebagai elemen MUSPIKA, lantas era Hendi Gunadi sebagai DANDIM, semua upaya KODIM 0609 terkait dengan proyek tersebut berhenti total, kecuali orang KODIM suka bolak-balik memeriksa tanah terkait? Apakah KODIM sebagai pemilik tanah, tentu tidak, atau pemilik proyek yang tidak jadi2?


Jangan2 betul seperti yang H. Budiman Ridho Utama orang PKS, bahwa PRC merupakan jatah KODIM dalam bagi2 proyek antara MUSPIKA. Kalau benar, walau itu tidakformal, atas nama 1000 tangan, apakah itu dibenarkan secara HAM dan asas bisnis?


Namun tampaknya benar adanya kewenangan bagian kesatuan militer di tanah/proyek PRC yang kini jadi Bandung- Cimahi Junction, karena SATPAMnya pun anggota KOPASSUS. Namun sayangnya, anggota yang ini juga militeristik, dalam arti premanis terhadap warga, alias kurang memiliki rasa simpatik dengan rakyat. Buktinya, tidak tanya2 dulu, terhadap Pak Silaban yang kangen pada rumah kesayangan yang dihancurkan oleh penguasa setempat, anggota KOPASSUS ini main siksa sampai Pak Silaban babak-belur, hanya atas alasan ‘mondar-mandir di depan proyek’ jam 1 dinihari. (Mei)

Kamis, 19 November 2009

Masalah Kependudukan Bayangi Kota Cimahi

Masalah Kependudukan Bayangi Kota Cimahi
Pemkot Cenderung Abaikan Sektor Informal

Senin, 22 Juni 2009 | 16:10 WIB

CIMAHI, KOMPAS - Sejak memekarkan diri dari Kabupaten Bandung pada 2001, Kota Cimahi telah menjadi daya tarik investasi untuk industri dan jasa. Namun, setelah delapan tahun berdiri, kota seluas 4.036 hektar itu menghadapi masalah kepadatan penduduk yang semakin merisaukan.

Itu dikatakan Wali Kota Cimahi Itoc Tochija saat dimintai pendapat terkait usia Kota Cimahi yang pada Minggu (21/6) telah 8 tahun. Kota Cimahi hanya memiliki tiga kecamatan dan 15 kelurahan dengan penduduk 572.638 jiwa pada akhir 2008.

Saat ini tingkat kepadatan di Kota Cimahi mencapai 141 jiwa per hektar. Jumlah tersebut jauh dari ideal yang ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), yakni batas ideal kepadatan permukiman di kota 60 jiwa per hektar.

"Saat ini tidak bisa menambah wilayah. Upaya yang harus dilakukan adalah mengubah arah perumahan ke atas dengan program rumah susun. Program lain yang sedang diupayakan adalah konsolidasi lahan di permukiman padat," kata Itoc.

Ia menjelaskan, keberadaan rumah susun sederhana dan sewa (rusunawa) di Kelurahan Cigugur Tengah bisa menjadi percontohan penanganan kepadatan penduduk dengan perumahan vertikal. Saat ini sedang dibangun beberapa rumah susun di daerah lain, seperti di Kelurahan Baros.

Konsolidasi lahan, ujarnya, merupakan upaya menata kawasan permukiman padat penduduk agar lebih tertata. Proyek awal ditujukan bagi Kelurahan Cigugur Tengah.

Kepala Badan Perencanaan Daerah Kota Cimahi Didi Ahmadi Djamhir menjelaskan, izin pembangunan di Kota Cimahi juga dilakukan dengan hati-hati karena sebagian wilayah dari delapan kelurahan termasuk dalam kawasan Bandung utara sesuai Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008.

Selain itu, dibentuk pula Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang bisa menyederhanakan perizinan. Hal itu dilakukan demi mengundang investor berinvestasi di Kota Cimahi.

Menurut Didi, 62 persen kegiatan perekonomian di Kota Cimahi didominasi sektor industri. Namun, sektor tersebut tidak banyak berkembang dalam dua tahun terakhir. Untuk itu, arah kebijakan Kota Cimahi lebih diarahkan untuk menggairahkan sektor jasa, perdagangan, dan industri kreatif.

Masalah PKL

Pemerintah Kota Cimahi juga berencana segera melakukan penataan terhadap pedagang kaki lima (PKL). Langkah itu dilakukan agar wilayah bersih dan tidak semrawut.

Didi menjelaskan, salah satu upaya mengakomodasi PKL adalah menempatkan mereka di pasar modern, seperti Pasar Antri Baru yang tengah dibangun. Meskipun tidak bisa menampung seluruhnya, pasar tersebut diha-rapkan bisa memberikan tempat berjualan baru bagi PKL.

Aktivis Forum Diskusi Warga Cimahi, Lim Mei Ming, mengatakan, kebijakan ekonomi Pemerintah Kota Cimahi justru kurang memihak ke sektor informal seperti PKL atau pedagang pasar tradisional. Padahal, mereka menjadi dasar pembangunan ekonomi Cimahi saat masih menjadi bagian dari Kabupaten Bandung.

"Pemerintah lebih memilih membangun pasar modern dan mengusir PKL demi pencitraan kota yang baik," ujar Mei. (eld)

pertemuan dengan world bank

beberpa waktu lalu menemui world bank, bertemu dengan penanggung jawab proyek USDRP dan staf ahlinya.

Jumat, 21 Agustus 2009

Sewindu Kota Cimahi

Oleh LIM MEI MING

Sewindu sudah Kecamatan Cimahi Tengah, Kecamatan Selatan, dan Kecamatan Utara dilebur dalam satu administrasi yang berpusat pada Pemerintahan Kota Cimahi. Prestasi Adipura pada masa ulang tahun ke delapan ini jadi kebanggaan tersendiri bagi Wali Kota Cimahi, yang menurut dia, berkat kerja sama masyarakat dan pemerintah dalam menjaga ketertiban, keindahan, dan kebersihan lingkungan.

Semboyan Kota Cimahi yang cantik menjadi jiwa dari sederet program dan kebijakan pemerintah kota yang diawali dengan proyek perdana pembangunan kawasan perdagangan terpadu, yaitu kawasan pusat perdagangan Pasar Antri. Istilah penataan kawasan perdagangan yang tertib, nyaman, indah, asri, dan cantik pun tercantum dalam surat edaran kepada pedagang Pasar Antri dan Pasar Inpres Sriwijaya saat itu. Isi surat tersebut adalah meminta dengan sukarela agar pedagang pindah ke Pasar Antri Baru yang dibangun di atas lapangan TNI-AD Sriwijaya.

Wujud dari proyek perdagangan utama yang berpacu dengan globalisasi tersebut adalah pembangunan Pasar Antri Baru dan Cimahi Mal. Namun, hingga sekarang belum tampak bangkitnya perekonomian di kawasan tersebut. Tampaknya Pasar Antri sebagai mercusuar perdagangan Kabupaten Bandung hanya tinggal legenda.

Seandainya saja Pasar Antri pada 23 Maret 2004 tidak dibongkar dan habis sama sekali serta diganti baru dengan bangunan Cimahi Mal, tetapi misalnya saja fungsinya ditingkatkan menjadi pasar grosir, tidak mustahil saat ini di Kecamatan Cimahi Tengah ada Pasar Induk Antri yang menjadi pemasok bahan kebutuhan pokok banyak pasar di kecamatan-kecamatan Kabupaten Bandung lainnya. Cimahi Mal dan Pasar Antri

Baru kini tampaknya terengah-engah dalam bersaing dengan maraknya pertokoan modern di bilangan Priangan lain, seperti Kota Bandung yang sudah padat dengan pusat perbelanjaan modern dan juga terjangkau dari Cimahi dengan transportasi umum sekalipun.

Menghancurkan Pasar Antri merupakan kecerobohan akibat kurang luasnya pemahaman sosial ekonomi, terutama potensi yang telah mengakar dalam masyarakat setempat. Dengan kelengkapan dan keberagaman jenis barang dagangan dan jasanya, ketradisionalan kawasan Pasar Antri sesungguhnya secara historis merupakan motor berkembangnya pedagang kaki lima dan pertokoan Gandawijaya serta pasar-pasar tradisional di kawasan lainnya. Selain itu, Pasar Antri juga menjadi muara dari rantai produksi dan distribusi hasil bumi di wilayah Priangan.

Oleh karena itu, untuk selanjutnya, otonomi daerah harus diperlengkapi dengan pembinaan perangkat sosial politik yang demokratis. Peran serta kalangan masyarakat pribumi menjadi prasyarat terselenggaranya alokasi dan distribusi APBD yang bermanfaat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah yang mengamanatkan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dengan memerhatikan spesialisasi, keberagaman dan kekayaan potensi, adat-istiadat, budaya, dan bidang-bidang lainnya di daerah yang bersangkutan. Timpang

Data terbaru Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan, dan Catatan Sipil Kota Cimahi menyebutkan, 395 perusahaan terdaftar di Kota Cimahi hanya menyerap kisaran angka 72.000 pekerja usia produktif. Ini tentunya timpang dengan jumlah penduduk Kota Cimahi yang pada tahun 2007 mencapai 518.059 orang. Artinya, dari sekitar 300.000 usia produktif, hanya 25 persen yang terdaftar formal sebagai tenaga kerja dengan tingkat pengangguran terbuka 16,78 persen.

Di antara dua kelompok inilah terletak antara lain sektor informal, termasuk sektor perdagangan tradisional. Adapun potensi ekonomi Cimahi yang tumbuh secara historis dan mampu menopang kesejahteraan masyarakat sepanjang perjalanannya sebagai kewedanaan dan kota administratif adalah pasar tradisional yang berpusat di Pasar Antri, PKL, dan pertokoan tradisional. Agrobisnis hanya mencakup 15 persen di Kecamatan Cimahi Utara yang merupakan bagian integral dengan kawasan Bandung utara.

Dengan berbagai prestasi pembangunan fisik kota yang diraih, Pemerintah Kota Cimahi sebaiknya tidak hanya berbangga, tetapi juga membalas budi pengorbanan masyarakat Cimahi dengan membangun kembali perekonomian masyarakat dengan memerhatikan unsur-unsur kultur ekonomi historis.

Perekonomian masyarakat merupakan tulang punggung pembangunan kota karena bagaimanapun megahnya pembangunan fisik tidak akan bermanfaat seandainya masyarakat kota tidak memiliki penghidupan berkelanjutan yang memampukannya memelihara dan menggunakan segala fasilitas fisik yang terbangun indah. Jika keadaannya demikian, angka-angka pembangunan kota pun bermakna semu.

Tahun demi tahun, 85 persen pendapatan retribusi kota merupakan kontribusi RSUD Cibabat yang tentu tidak berkaitan dengan prestasi kesehatan masyarakat. Sebesar 95,0 persen pendapatan pajak daerah berasal dari pajak penerangan jalan, yang dibayarkan masyarakat bersamaan dengan pembayaran rekening listrik setiap bulan. Artinya, mayoritas pendapatan asli daerah Kota Cimahi tidak berkaitan langsung dengan tingkat perekonomian rumah tangga. Amanat otonomi daerah

Di samping pembangunan kawasan pusat perdagangan terpadu di Pasar Antri, Pemkot Cimahi juga menargetkan dua pusat perbelanjaan modern utama lainnya, yaitu Pasar Atas Baru dan Pasaraya Cibeureum. Pembangunan Pasaraya Cibeureum terhambat akibat kasus sengketa berkepanjangan di atas tanah tersebut. Alhasil, dana penyertaan modal Pemkot di BUMD Jati Mandiri yang telah diperjuangkan bersama DPRD Kota Cimahi sebesar Rp 81 miliar menjadi dana yang menganggur dan tidak produktif.

Walaupun batu pertama sudah diletakkan Wali Kota pada April 2008, praktis tanah yang sudah dibeli dengan harga Rp 10 miliar dari APBD 2006 dengan penggusuran terakhir sekitar 14 keluarga per 6 Januari 2005 tersebut tidak dapat digunakan untuk keperluan prasarana fisik, termasuk Pasaraya Cibeureum.

Adapun Pasar Atas Baru diharapkan mampu mengobati penderitaan PKL selama empat tahun yang sejak dibersihkan dari 600 meter Jalan Gandawijaya pada 19 November 2005. Hingga kini mereka mengais rezeki di tempat, pada waktu, dan dengan cara yang tidak menentu. Merupakan tugas dan kewajiban Pemkot Cimahi dan BUMD Jati Mandiri sebagai pengelola Pasar Atas Baru nantinya untuk memastikan terfasilitasinya kebutuhan nafkah dan penghidupan masyarakat pribumi.

Konon demi pembangunan kota, warga patut berkorban. Namun, menurut penulis, apabila yang dikorbankan adalah nafkah yang lokasi usahanya pun telah terbina selama rentang dekade, pembangunan yang berorientasi fisik kuranglah bijaksana.

Otonomi sering kali dianggap sebagai peningkatan status wilayah dan pemimpin pemerintahannya, hanya karena adanya perubahan status administratif beserta alokasi anggaran terkait. Padahal, di balik kenyamanan status dan keuangan yang rutin digulirkan dari pemerintah pusat, ada tanggung jawab pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat sesuai amanat UU Otonomi Daerah. LIM MEI MING Aktivis Forum Diskusi Warga Cimahi

Kamis, 2 Juli 2009 | 17:46 WIB

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/02/17464480/Sewindu.Kota.Cimahi#


PASAR ATAS BARU LANGGAR KOMITMEN?

Wednesday, 11 February 2009 15:12

Cimahi, (PR).-
Pemerintah Kota Cimahi diharapkan meninjau ulang projek pembangunan Pasar Atas Baru yang didanai Bank Dunia dalam Urban Sector Development Reform Project (USDRP) tahun 2006 lalu. Pasalnya, projek Pasar Atas Baru dinilai melanggar tiga pilar USDRP yang fokus pada pengentasan masyarakat dari kemiskinan, pengembangan ekonomi lokal, dan peningkatan pelayanan umum.

"Pasar Atas Baru tidak mengembangkan ekonomi lokal karena nantinya yang akan menikmati adalah mereka yang mampu membayar sewa Rp 60 juta. Paling-paling pengusaha di mal-mal kota metropolitan yang akan mendatangi Cimahi," kata Liem Mei Ming, aktivis Forum Diskusi Warga Cimahi yang dihubungi "PR", Selasa (10/2).

Menurut Mei, Pasar Atas Baru tidak meningkatkan pelayanan umum, seperti halnya Pasar Antri dulu yang bisa dinikmati oleh banyak pihak rakyat pribumi. Bentuk Pasar Atas Baru tidak bisa dijadikan tempat melayani kepentingan umum karena publik Cimahi umumnya akan segan, tidak mempunyai akses, baik sebagai pembeli maupun pedagang.

Meski demikian, untuk menata kembali permasalahan konsep Pasar Atas Baru, Mei mengaku telah mengundang Bank Dunia. Mei menegaskan, Pasar Atas Baru bukan solusi ekonomi Cimahi karena struktur yang sudah hancur.

"Pemkot pun dalam posisi sulit, menyeret Bank Dunia dalam polemik karena menyediakan seratus kios saja di Pasar Atas Baru, sementara pedagang korban gusuran lebih dari itu," kata Mei.

Perlu komunikasi

Sebelumnya, anggota Social Save Guard World Bank Isono Sadoko mengatakan, perlu diadakan komunikasi antara Pemkot Cimahi dan para pedagang untuk memecahkan persoalan ini. Ia ditemui dalam diskusi bersama warga di Hotel Cimahi, Senin (9/2).

"Saya minta pemkot mendiskusikannya kembali dengan warga. Hal itu untuk mendorong adanya transparansi. Kalau memang terbukti ada kejanggalan pada projek ini dan bisa dibuktikan secara formal, kami tak segan bertindak," tutur Sadoko.

Sementara itu, Pemkot Cimahi yang diwakili staf Unit Manajemen Projek Pasar Atas Baru Dwi Retnani, mengatakan, ia akan berkonsultasi mengenai badan pengelola Pasar Atas Baru itu. Terdapat dua pilihan pengelola, yaitu Pemkot Cimahi atau BUMD Kota Cimahi.

"Dalam Pasar Atas Baru itu, kami akan menyediakan seratus kios untuk PKL dengan harga subsidi," katanya. (A-183)***Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Rabu 11 Februari 2009

Sabtu, 03 Januari 2009

BERAKHIRNYA PEMBANGUNAN CIMAHI YANG BERKEADILAN

Kini kios-kios dan bangunan toko tradisional, warung rakyat, lapak-lapak PKL, telah berganti menjadi bangunan-bangunan megah, mal-mal yang berdiri dengan angkuhnya, di dalamnya kosong- melompong, tanpa udara kesejahteraan ataupun angin perekonomian, hanya dinding-dinding kematian yang angker dihiasi kesombongan penguasa negeri.

Sudah berdekade Pasar Antri berdiri di simpang kecamatan Cimahi Tengah, tumbuh sebagai pusat perbelanjaan tradisional terbesar bagi masyarakat Priangan di Kabupaten Bandung. Saking lamanya hingga tidak ada yang tau pasti sejarah berdirinya. Nama Antri konon diberikan karena memang semula tanah tegalan ribuan meter persegi itu adalah tempat tentara meng-antri ransum di zaman perang kemerdekaan. Pasar tersebut memang terletak di lingkungan MAKODIM 0609 Kabupaten Bandung dan sejumlah pusat pendidikan militer seperti Pusdikjas, Pusdikarmed, Pusdikhub dsb.

Walaupun menjadi mercusuar ‘hanya’ bagi kampung-kampung sekitar Kota Bandung sebagai pusat urban, tapi omset para pedagang di sana cukup mengagumkan. Sebut saja Pak Rusmana, seorang (bandar) penjual sayur-mayur, dalam sehari bisa menghasilkan 4 juta rupiah. Bu Linar, penjual kain bisa menghasilkan 20 juta rupiah. Sebagian besar pedagang, saat digusur, sudah tiga generasi berjualan sehingga biaya penggunaan kios pun hampir tidak ada, karena kiosnya hak milik. Hasil yang cukup besar yang diperoleh dari berdagang berbagai komoditas pertanian, perkebunan dan hasil industri rumah tangga (home industry).

Di Pasar Antri orang dapat berbelanja sebagian besar kebutuhan sehari-hari. Mulai dari kebutuhan rumah tangga seperti dapur, kamar mandi, rempah-rempah baik untuk masakan maupun sesajen kepercayaan, ikan hias hingga ikan untuk konsumsi, peralatan sekolah hingga perlengkapan tentara, pakaian olahraga hingga audio. Luasnya lini barang yang dijual di lebih dari 2000 kios ini bertambah secara alami, karena lokasi 1,7 ha pasar yang strategis di lintas jalur transportasi antar teritorial dan geografis Cimahi Tengah yang terletak di tengah-tengah puluhan kecamatan di Kab. Bandung.

Petani sebagai produsen berbagai komoditi pertanian khususnya dari Kawasan Bandung Utara (KBU) seperti kec. Lembang, Cisarua dan Parongpong sangat diuntungkan oleh keberadaan Pasar Antri. Angkutan pedesaan yang sejalur ke Pasar Antri menjadi salah satu fasilitas untuk para produsen mendistribusikan sayuran ke pasar ini. Bahkan tidak jarang bapak-bapak tua yang menanggung tanggulan sayur di bahunya dan berjalan kaki menyusuri jalanan dari Kawasan Bandung Utara (KBU) ke wilayah Cimahi, baik untuk berjualan langsung ke konsumen ataupun untuk mendistribusikan ke para pedagang di pasar. Ongkos yang relatif menjadikan aktivitas perdagangan bergulir secara sederhana dan cukup sempurna.

Penghidupan ekonomi yang ramah lingkungan dan mengintegrasikan kultur sosial di Pasar Antri menjadi muara dari kehidupan urban yang berpusat di alun-alun, disambungkan dengan Jl. Gandawijaya yang terbentang sepanjang 600 m di bagian utara Pasar Antri. Tingginya kegiatan perdagangan kebutuhan pokok di PasarAntri, mendongkrak perekonomian di sekitarnya, meramaikan kegiatan jual-beli di pertokoan Cina sepanjang Jalan Gandawijaya dan kegiatan ekonomi barang dan jasa bertumbuh di alun-alun.

Ada gula ada semut, di mana ada perputaran uang yang manis di Pasar Antri menarik lebih banyak lagi pedagang membuka jongko/ emper/ roda di sepanjang Jl. Gandawijaya. Aktivitas semakin meluas terutama setelah kewedanaan pada 1970-an yang merelokasi kelompok Pasar Mambo ke jalan Gandawijaya selebar 8 m tersebut. Terjadilah integrasi masyarakat ekonomi simbiosa-mutualisme antar kecamatan se-kab. Bandung berpusat di Pasar Antri.

Kini pasar itu telah hilang, meninggalkan lagenda kehidupan ekonomi yang nyaris sempurna, yang terbangun dari basis ekonomi masyarakat lokal, berkembang mengintegrasikan segenap kekuatan produksi, distribusi dan konsumsi dalam persaingan yang sehat di antara kekuatan ekonomi yang seimbang.

Anomali Otonomi Daerah

Pemerintahan baru yang terbentuk pasca reformasi rupanya tidak memahami kultur sosial ekonomi yang bukan hanya merupakan aset masyarakat, tapi juga aset pemerintahan. Keberadaan pasar tradisional sesungguhnya memiliki kemampuan menyerap ribuan tenaga kerja dan wiraswasta, juga memberikan pajak dan retribusi yang berkelanjutan.

Obsesi penguasa menciptakan kota yang eksklusif dan megah membuat pemkot Cimahi menggalakkan proyek-proyek mercusuar “pamer”, untuk menunjukkan prestasi di mata “orang luar”. Pembangunan mega proyek baik yang menggunakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD), anggaran pemerintah pusat dan bahkan anggaran yang bersumber dari utang, tidak mempedulikan kemungkinan kesalahan /kegagalan dari proyek.

Tanpa kajian ekonomi yang memadai, dengan terlalu mudah menyimpulkan prioritas pembangunan, dibangunlah gedung pemerintahan mewah, mal, pusat perbelanjaan mewah. Praktek pembangunan tersebut tidak mempedulikan realitas ekonomi dan sosial masyarakat. Anggaran negara dihamburkan untuk memuaskan obsesi penguasa. Meskipun tampak jelas bahwa rakyat tengah mengalami kesulitan ekonomi akibat krisis berkepanjangan dan membutuhkan dukungan pemerintah untuk menghidupkan kembali ekonomi masyarakat yang tengah lesu.

Obsesi penguasa daerah semacam itu, sangat jelas terlihat dalam proyek perdana pembangunan Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Antri (KP3A). Proyek ini konon dimaksudkan untuk meningkatkan sarana perdagangan perkotaan yang terdiri dari pasar tradisional, ruko, gedung perparkiran, dan taman kota. Nyatanya proyek ini terdiri dari Cimahi Mal dan Pasar Antri Baru (PAB) dengan konsep pasar modern.

Cimahi Mal disebut sebagai simbol berdirinya kota Cimahi. “Untuk jadi kota, harus ada mal” demikian propaganda yang dihembuskan penguasa dalam rangka mendapatkan legitimasi untuk mengusir rakyat kecil dari wilayah penghidupan mereka di Pasar Antri. Sehingga seperti angin badai yang tak disangkakan sebelumnya, pemkot bersama jajaran penguasa lainnya mengultimatum pedagang Pasar Antri yang telah berjualan berpuluh-puluh tahun untuk menyingkir dari wilayah tersebut.

‘’Kota Cimahi membutuhkan sarana perdagangan yang memadai‘’ demikian bunyi salah satu kalimat dalam MoU dirut PT. Bumi Kencana Indah (BKI) dan walikota Cimahi, kedua sobat yang menjadi relasi dalam pembangunan berbagai proyek ekonomi sejak dekade sebelumnya di administrasi kota Bogor. Namun, di balik kamuflase pembangunan sarana perdagangan untuk menunjang kehidupan kota yang bersih, asri, nyaman, tertib, indah, dan sederet kata bagus-bagus, tersembunyi niat penguasa untuk meraup keuntungan dari proyek bisnisnya dengan pengusaha.

Telah menjadi rahasia umum proyek-proyek besar yang dibiayai dengan APBD, APBN atau anggaran lainnya yang bersumber dari utang luar negeri, adalah sumber uang para penguasa. Proyek-proyek menghasilkan fee bagi para pengusasa dan keuntungan besar bagi para pengusaha yang menjadi koleganya. Tidak jarang segala daya upaya dilakukan oleh penguasa untuk menyukseskan proyek semacam itu, meskipun harus menggunakan cara-cara paksa seperti penggusuran dan pengusiran paksa rakyat dari wilayah kelola mereka.

Proyek Penggusuran Usaha Kecil

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, proyek pembangunan Cimahi Mal satu paket dengan pembangunan Pasar Antri Baru (PAB). Berbeda dengan pembangunan Cimahi Mal yang dihajatkan bagi para pedagang besar kelas atas, suatu “pusat perbelanjaan termodern dan termegah se-Asia Tenggara”, pembangunan PAB diniatkan sebagai relokasi terhadap para pedagang yang sebelumnya berjualan di Pasar Antri.

Mengapa lokasi Pasar Antri dijadikan mal dan mengapa para pedagang direlokasi ke Pasar Antri Baru. Alasannya sederhana, lokasi Pasar Antri sangat strategis, mudah dijangkau dan terletak di jantung Kota Cimahi dan menjadi pusat dari lalu-lintas kendaraan di wilayah tersebut. Lokasi yang sangat strategis tersebut menjadi incaran para pengusaha besar untuk meraup keuntungan dari masyarakat. Mengapa para pedagang di Pasar Antri sampai harus digusur dulu baru bisa meng-antri untuk menyewa Pasar Antri Baru ? Alasannya juga jelas, lokasi yang baru kurang strategis sehingga akan kurang diminati oleh masyarakat. Dengan demikian posisi pengusaha besar tidak tersaingi oleh pedagang-pedagang kecil. Inilah sifat dasar penguasa Indonesia dewasa ini, mereka lebih memilih bekerjasama dengan para pemodal besar, dan lebih rela mengorbankan ekonomi rakyatnya. Gejala semacam ini telah menjadi gejala yang menasional.

Demikian pula dengan penguasa Kota Cimahi, pertimbangan ekonomi masyarakat merupakan hal yang tidak prioritas. Yang terpenting adalah bagaimana megaproyek segera dilakanakan, karena akan memberi keuntungan bagi penguasa dan pelaksana proyek.

Diawali dengan uang jaminan dari PT Bumi Kencana Indah (PT. BKI)[1] sebesar 20 miliar sebagai bukti kesanggupan, pembayaran SGU atas lapangan Sriwijaya yang dibayarkan PT BKI kepada PRIMKOPAD III Zidam Siliwangi sebesar 300juta rupiah ditambah 5 % inflasi per tahun hingga 25 tahun, sebelum akhirnya bangunan Pasar Antri Baru (PAB) dikembalikan kepada pihak tentara secara built operate Transfer (BOT). Konon, uang penghasilan sewa 2 tahun pertama cukup untuk membeli tanah TNI-AD yang baru di wilayah Kec. Ngamprah.

Harapan akan keuntungan yang besar yang diperoleh pemangku kekuasaan ini menyebabkan berbagai upaya dilakukan untuk mengambil-alih lahan Pasar Antri yang ditempati oleh masyarakat. Tangan besi penguasa menggempur para pedagang yang hendak mempertahankan hak hidup yang sudah diwarisinya tiga generasi, memaksa agar pedagang mengikuti kemauan pemkot, pindah ke lokasi baru. Sementara di lokasi Pasar Antri Baru, para pedagang harus membayar 26-60 juta rupiah /kios. Bagai orang dipaksa keluar dari rumah orang tuanya, dengan disuruh menyewa di apartemen, karena rumahnya akan dijadikan hotel agar ada hotel di kotanya.

Pembangunan Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Antri tanpa ada pertemuan dan musyawarah dengan elemen masyarakat. Penguasa Cimahi berdasarkan Surat perintah Pangdam III Siliwangi Mayjen Ridwan Sulandjana tertanggal 7 Juni 2003, menggunakan segala kekuatan jaringan pengamanan dan keuangan daerah untuk sesegera mungkin mewujudkan Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Antri (KP3A) tersebut.

Agustus 2003 terwujudlah PAB yang disediakan sebagai lokasi ‘relokasi’ paksa bagi pedagang Pasar Antri, sementara Cimahi Mal yang diproklamasikan peresmiannya tepat 7 hari setelah pengumuman kemenangan walikota dalam PILKADA 8 September 2007.

Skandal Kepemilikan Tanah TNI

Proyek pembangunan Mal sudah hampir dibatalkan. Status kepemilikan tanah ternyata bermasalah. MoU antara Suryadi Baruna selaku pengembang kawasan dengan Walikota Cimahi Itoc Tochija yang mewakili pemkot selaku pemilik tanah tidak memadai secara hukum, karena kemudian pihak MABES-AD membuktikan secara sah bahwa tanah satu hektar lokasi rencana mal tersebut berdiri adalah sebagian besar milik TNI-AD[2].

Memang dari semula, tidak ada pihak BPN ataupun kelurahan Setiamanah Kec Cimahi Tengah yang sanggup menunjukkan bukti secara terbuka bahwa tanah tersebut adalah milik Pemerintah Kota Cimahi. Malahan otoritas penggusuran pun adalah surat keputusan walikota, sementara aset kios pasar sesungguhnya masih merupakan milik Pemkab. Bandung.

Berlarut-larutnya penyelesaian masalah status tanah memicu kebangkrutan PT. BKI. Hal ini memang agak kurang jelas penyebabnya, apakah PT BKI menjaminkan aset tanah tersebut kepada bank sebagai sumber pembiayaan ? atau ternyata perusahaan menyandarkan sumber pembiayaan proyek dari uang muka penyewa kios (tenant) sementara calon penyewa tidak sesuai dengan perkiraan perusahaan ?. Informasi tentang penyebab kebangkrutan tidak jelas sama sekali. Yang jelas pada saat bangkrut perusahaan ini meninggalkan hutang konstruksi yang terhenti pembangunannya selama 4 tahun.

Alhasil, sengketa tanah berkepanjangannya membuat mundur investor PT. BKI sehingga keuangan perusahaan goyah, dan hasilnya proyek KP3A tidak sebagaimana yang direncanakan. Proyek ini akhirnya memfokuskan dirinya pada pembangunan Cimahi Mal. Pembangunan Mal terkesan dipaksakan untuk menutup malu pemkot Cimahi, karena sesungguhnya proyek penggusuran sekitar 2000-an kios milik masyarakat boleh dikatakan telah gagal membuahkan hasil kemjuan .

Manajemen pengembangan kemudian diambil alih PT Tata Mulia Cemerlang (PT. TMC) pada sekitar ahir tahun 2006, yang berhasil dibujuk pemkot dengan iming-iming prospek modernisasi Pasar Antri tersebut. Perusahaan anggota TATA Grup tersebut konon merupakan perusahaan konstruksi tingkat internasional.

Mega Proyek yang Gagal

Dari lima lantai yang dibangun hanya dua lantai terbawah yang terisi. Dua lantai (lantai 2-3) praktis kosong. Meskipun pihak pemkot mengobral blok-blok mal sebulan dengan membayar Rp 1,5 juta akan tetapi juga tidak berhasil menarik minat para pedagang. Para pedagang handphone dan accessories di alun-alun Cimahi mengaku dibujuk pihak pemasaran mal. Beberapa pedagang HP dan Accesoris pernah mencoba akan tetapi hanya bertahan satu bulan karena sepi pembeli dan jadi merugi.

Semula harga kios Rp 30juta-an/m2 untuk 25 tahun, kini tak menentu dipasarkan berdasarkan kemampuan dan kemauan tenants, ada yang Rp 300.000/m2/th, ada yang Rp 20.000/hari, ada yang Rp 4,5 juta /bulan dan sebagainya. PT. TMC memberi kesempatan pengusaha yang mau untuk coba-coba dalam jangka pendek. Konsep lini produk pun berubah drastis, akibat sudah batalnya banyak tenants yang semula sudah membayar uang muka atau setidaknya mempertimbangkan niat menyewa di mal, seperti Texas Fried Chicken, YOGYA Department Store dan Pizza Hut. Walaupun agak sulit menarik kembali uang muka. akhirnya Pizza Hut dan YOGYA Dept Store pun memahami persoalan ekonomi di Cimahi dan mereka kini membuka gerai usahanya di Jalan Raya Barat, jalan arteri negara yang memang ramai dilalui massa, dan bukannya di Cimahi Mal.

Cimahi Mal sendiri hanya merupakan kamuflase proyek pembangunan ekonomi, yang tidak lebih dari tindakan politis memaksakan rampungnya MoU antara walikota CImahi dan dirut PT BKI. Kios-kios pun terisi tanpa prospek yang jelas, kecuali GIANT Supermarket yang mengambil alih lahan hidup pedagang Pasar Antri Baru korban gusuran dari Pasar Antri 2004. Janji walikota Cimahi bahwa proyek Cimahi Mal akan menyerap 6000 tenaga kerja, ternyata hanya menyerap segelintir pemuda dari FKPPI, ORMAS local seperti GMPC dan bapak-bapak RW setempat sebatas jadi SATPAM. Geliat kegiatan perbelanjaan modern pun jauh sebatas impian pemkot, karena yang menyewa kios kini pun hanyalah spekulator pemula dagang, karena tarif sewa yang dikenakan manajemen BKI sebatas ‘asal ada’ dan jauh dari tarif.

Demikian halnya dengan PAB, proyek bisnis komersial antara walikota dan pengusaha gagal secara menyedihkan. Akibatnya target pendapatan sewa tidak terealisasi. Keadaan ini otomatis menyusutkan juga setoran-setoran pada para birokrat. Akhirnya untuk mengejar setoran sewa, manajemen mengobral setiap jengkal koridor di PAB, baik itu di terminal, lapang parkir, kolong tangga, celah belokan, sisi selokan, kepada para PKL.

Tidak seperti yang dipresentasikan pihak BKI di hadapan MUSPIKA, kini wujud PAB lebih kumuh, bahkan lebih bau daripada Pasar Antri legendaris. Jika demikian, apa bedanya PAB dengan pasar tradisional yang menampung PKL, semrawut, kumuh, becek, tak teratur, tidak nyaman, tidak bersih, bau, dan sederet alasan yang biasa digunakan birokrasi untuk menggusur pasar tradisional dan pKL? Lantas, kenapa PAB tidak digusur-gusur lagi ?

Kegagalan membangun Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Antri (KP3A) tidak diakui secara yuridis maupun de facto, karena pemerintah kota cenderung mengubur hancurnya sendi perekonomian Cimahi karena penggusuran Pasar Antri, penggusuran PKL Gandawijaya, perubahan arus jalan negara Raya Barat Cimahi- Gandawijaya, dan pemasangan median di alun-alun telah menghabiskan lahan nafkah ribuan keluarga dan mematikan akar pertumbuhan ekonomi perkotaan. Sebelumnya pemeritah mengasumsikan bahwa pusat perbelanjaan modern seperti mal akan lebih mewakili kemajuan suatu kota, mungkin peradaban masyarakat yang bermartabat dan tampak tinggi derajatnya di hadapan para investor metropolis untuk mengumpan masuknya permodalan global berikutnya.

Kegagalan total proyek adalah karena motivasi yang salah, dan pangkal dari niat untuk menghalau segala demokrasi, logika ekonomi dan analisa social ekonomi lingkungan yang obyektif dalam manajemen suatu pasar rakyat. Tata kelola pasar yang diadopsi dari pengusaha emas dan perkapalan yang merupakan profesi manajer dan direksi PT BKI, tidak relevan dengan pengelolaan pasar tradisional ala Cimahi.

Keledai itu bernama “Bank Dunia”

Dan tanpa niat untuk mengenali apa yang sesungguhnya telah terjadi dalam perekomian Cimahi, pemkot terus melaju dengan proyek Pasar Atas Baru (PA Baru). Kali ini memanfaatkan dana yang bersumber dari bank Dunia (WB). Semula Bank Dunia pun tidak bisa memutuskan apakah proyek ini memang diperlukan atau tidak, sehingga selama 2002-2008 dilakukan studi kelayakan, proposal, berulang kali re-konsep baik dalam rancang bangun, peruntukan, kelas, lini produk dll, terkait rencana PA Baru.

Proses studi kelayakan menggunakan dana pendamping yang harus disediakan Pemerintah setempat. Seperti juga proyek-proyek pinjaman Bank Dunia lainnya, pemkot diwajibkan menyediakan dana pendamping yang diambil dari DAU APBD Cimahi sebesar 10 % dari nilai proyek. Pemerintah Kota Cimahipun mengeluarkan sedikitnya Rp 1,41 miliar. Dana yang cukup besar dan sesungguhnya membebani anggaran daerah.

Anehnya, walaupun katanya dilakukan survey lapangan dan studi profesional yang dilakukan secara independen (masing-masing versi), tapi selama 6 tahun masa inkubasi proyek USDRP tersebut, pihak tim USDRP tidak mengetahui adanya kegagalan structural dari proyek perdana pemkot Cimahi yaitu Pasar Antri.

Bank Dunia tidak sedikitpun menengok kepada kondisi terkini dari masyarakat yang dimiskinkan oleh rekayasa proyek cybercity-nya pemkot. Bank Dunia menyalurkan dana Rp 14 miliar dalam bentuk USDRP (Urban Sector Development Reform Program). USDRP merupakan program pinjaman lunak dari Bank Dunia atas nama pembangunan perkotaan mandiri yang diluncurkan di Bali (Januari 2003).

Konon hubungan dengan Bank Dunia dimulai saat Ir. H. Itoc Tochija, MM berkeliling dunia antara lain ke Washington, DC. Selain ke Tokyo, sebagai walikota CImahi. Kota CImahi mengajukan beberapa proposal proyek untuk didanai USDRP-World Bank, yaitu sempadan Sungai Cimahi, jembatan flyover Pasirkaliki – Padasuka, dan Pasar Atas Baru.

Setelah melalui proses pengkajian dan evaluasi dengan bantuan PT. Project Concern Indonesia sebagai konsultan yang ditunjuk WB, akhirnya yang disetujui oleh tim USDRP adalah proyek yang bisa menghasilkan pendapatan ekonomi, atau cost recovery, Pasar Atas Baru. Melalui kegiatan operasional pasar modern tersebut, diharapkan uang sewa kios, parkir kendaraan bermotor, pungutan toilet, bisa menyumbang PAD untuk pemkot Cimahi mengembalikan dana pinjaman kepada Bank Dunia.

Dimulailah proses pembuatan rancangan proyek, pengajuan proposal, pembentukan panitia yang merupakan kolaborasi antara Departemen Keuangan, Depkimpraswil, BAPPENAS dan Departemen Pekerjaan Umum sebagai Project Monitoring Unit (PMU)atas tim USDRP di pemerintahan kota CImahi yang meliputi unsur berbagai eselon dan kedinasan seperti Asisten Perekonomian, Dinas LH, Tatakota, Disperekop di bawah koordinasi BAPPEDA Cimahi.

PT PCI sebagai konsultan yang ditunjuk oleh WB sendiri (keterangan pemkot, 2006) dan juga yang diajukan oleh pemkot Cimahi (Versi WB, 2008). Tim dari PT PCI melakukan survey lapangan ke PKL Gandawijaya (2003). Survey dilakukan terhadap sekitar 780 unit terdaftar di KALIBER (Kaki Lima Bersama), suatu organisasi PKL setempat.[3]

Proyek PA Baru akan menampung PKL Gandawijaya yang menurut rekomendasi Ir. Soewarno dari Depkimpraswil merupakan masalah utama kota CImahi yang membuat kumuh dan macet Jl. Gandawijaya, mencemari penilaian kesuksesan pembangunan kota Cimahi. Rekomendasi Depkimpraswil sebagai salah satu lembaga berwenang dalam penilaian kinerja pembangunan kota, memperkuat niat pemkot untuk menggusur PKL Gandawijaya. Niat membersihkan kota dari citra kumuh, sesak, macet dan semrawut dibungkus oleh ambisi menggolkan proposal dana dari Bank Dunia.

Tim USDRP bekerja keras untuk mencari dan merumuskan landasan legitimasi bagi terwujudnya proyek PA Baru. Hasilnya, sebuah studi kelayakan yang menyimpulkan bahwa pembangunan Pasar Modern Atas Baru layak secara ekonomis, feasible, bankable, partisipatif dan menguntungkan. Praktis seluruh indikator penilaian yang dibutuhkan dalam rangka membangun PA Baru dapat dipenuhi.

Suatu kesimpulan studi kelayakan yang sangat aneh. Studi kelayakan selama 4 tahun tim USDRP sama sekali tidak memahami konflik sosial budaya ekonomi yang terjadi di Cimahi. Bagimana mungkin proyek ini layak secara ekonomi, padahal tarif Pasar Atas Baru Rp 60 juta /kios sama-sama tarif komersial dan konsep di Cimahi Mal sudah terbukti tidak laku karena konsep seperti itu terlalu tinggi untuk ukuran kapasitas sosial ekonomi rakyat Cimah. Hanya keledai terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama…!!!

Liem Mei Ming

Komunitas Belajar Bersama Rakyat - Cimahi




[1] PT. BKI adalah badan hukum usaha yang didirikan di Bandung, berkedudukan perumahan Metro Soekarno Hatta tanggal 11 April 2002 di hadapan notaris Ayi Mandar, SH, dengan komisaris utama Supakat Hadrianto. PT BKI mendapat penunjukan langsung untuk pengembangan Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Antri (KP3A) atas dasar SK Walikota nomor segala perjanjian usaha dan kesepakatan (MoU) dalam rangka proyek KP3A dilakukan oleh Suryadi Baruna selaku direktur utama. Suryadi Baruna sendiri adalah rekanan beberapa proyek yang ditenderkan pemkot Bogor semasa Itoc Tochija menjabat sekdakot Bogor di tahun 1990-an.

[2] Kesepakatan kerjasama (MoU) dibuat atas Surat Perintah PANGDAM III Siliwangi saat itu, Mayjen. Ridwan Sulandjana tanpa pemberitahuan kepada MABES TNI-AD. KSAD saat itu Jend. Ryamizard Ryacudu mengetahui adanya transaksi Sewa Guna Usaha bagian tanah TNI-AD untuk KP3A itu saat melewati lapangan Sriwijaya dalam perjalanan acara protokoler kemiliteran di Cimahi, dan melihat ada bangunan Pasar Antri Baru di atasnya.

[3] Keterangan PT. PCI dalam rapat bersama Pemkot Cimahi, Bappeda, PU, Bank Dunia dan perwakilan LSM tanggal 1 Oktober 2006 di ruang rapat Bappeda Lt. 3 Gedung Pemkot Cimahi.