Sabtu, 03 Januari 2009

BERAKHIRNYA PEMBANGUNAN CIMAHI YANG BERKEADILAN

Kini kios-kios dan bangunan toko tradisional, warung rakyat, lapak-lapak PKL, telah berganti menjadi bangunan-bangunan megah, mal-mal yang berdiri dengan angkuhnya, di dalamnya kosong- melompong, tanpa udara kesejahteraan ataupun angin perekonomian, hanya dinding-dinding kematian yang angker dihiasi kesombongan penguasa negeri.

Sudah berdekade Pasar Antri berdiri di simpang kecamatan Cimahi Tengah, tumbuh sebagai pusat perbelanjaan tradisional terbesar bagi masyarakat Priangan di Kabupaten Bandung. Saking lamanya hingga tidak ada yang tau pasti sejarah berdirinya. Nama Antri konon diberikan karena memang semula tanah tegalan ribuan meter persegi itu adalah tempat tentara meng-antri ransum di zaman perang kemerdekaan. Pasar tersebut memang terletak di lingkungan MAKODIM 0609 Kabupaten Bandung dan sejumlah pusat pendidikan militer seperti Pusdikjas, Pusdikarmed, Pusdikhub dsb.

Walaupun menjadi mercusuar ‘hanya’ bagi kampung-kampung sekitar Kota Bandung sebagai pusat urban, tapi omset para pedagang di sana cukup mengagumkan. Sebut saja Pak Rusmana, seorang (bandar) penjual sayur-mayur, dalam sehari bisa menghasilkan 4 juta rupiah. Bu Linar, penjual kain bisa menghasilkan 20 juta rupiah. Sebagian besar pedagang, saat digusur, sudah tiga generasi berjualan sehingga biaya penggunaan kios pun hampir tidak ada, karena kiosnya hak milik. Hasil yang cukup besar yang diperoleh dari berdagang berbagai komoditas pertanian, perkebunan dan hasil industri rumah tangga (home industry).

Di Pasar Antri orang dapat berbelanja sebagian besar kebutuhan sehari-hari. Mulai dari kebutuhan rumah tangga seperti dapur, kamar mandi, rempah-rempah baik untuk masakan maupun sesajen kepercayaan, ikan hias hingga ikan untuk konsumsi, peralatan sekolah hingga perlengkapan tentara, pakaian olahraga hingga audio. Luasnya lini barang yang dijual di lebih dari 2000 kios ini bertambah secara alami, karena lokasi 1,7 ha pasar yang strategis di lintas jalur transportasi antar teritorial dan geografis Cimahi Tengah yang terletak di tengah-tengah puluhan kecamatan di Kab. Bandung.

Petani sebagai produsen berbagai komoditi pertanian khususnya dari Kawasan Bandung Utara (KBU) seperti kec. Lembang, Cisarua dan Parongpong sangat diuntungkan oleh keberadaan Pasar Antri. Angkutan pedesaan yang sejalur ke Pasar Antri menjadi salah satu fasilitas untuk para produsen mendistribusikan sayuran ke pasar ini. Bahkan tidak jarang bapak-bapak tua yang menanggung tanggulan sayur di bahunya dan berjalan kaki menyusuri jalanan dari Kawasan Bandung Utara (KBU) ke wilayah Cimahi, baik untuk berjualan langsung ke konsumen ataupun untuk mendistribusikan ke para pedagang di pasar. Ongkos yang relatif menjadikan aktivitas perdagangan bergulir secara sederhana dan cukup sempurna.

Penghidupan ekonomi yang ramah lingkungan dan mengintegrasikan kultur sosial di Pasar Antri menjadi muara dari kehidupan urban yang berpusat di alun-alun, disambungkan dengan Jl. Gandawijaya yang terbentang sepanjang 600 m di bagian utara Pasar Antri. Tingginya kegiatan perdagangan kebutuhan pokok di PasarAntri, mendongkrak perekonomian di sekitarnya, meramaikan kegiatan jual-beli di pertokoan Cina sepanjang Jalan Gandawijaya dan kegiatan ekonomi barang dan jasa bertumbuh di alun-alun.

Ada gula ada semut, di mana ada perputaran uang yang manis di Pasar Antri menarik lebih banyak lagi pedagang membuka jongko/ emper/ roda di sepanjang Jl. Gandawijaya. Aktivitas semakin meluas terutama setelah kewedanaan pada 1970-an yang merelokasi kelompok Pasar Mambo ke jalan Gandawijaya selebar 8 m tersebut. Terjadilah integrasi masyarakat ekonomi simbiosa-mutualisme antar kecamatan se-kab. Bandung berpusat di Pasar Antri.

Kini pasar itu telah hilang, meninggalkan lagenda kehidupan ekonomi yang nyaris sempurna, yang terbangun dari basis ekonomi masyarakat lokal, berkembang mengintegrasikan segenap kekuatan produksi, distribusi dan konsumsi dalam persaingan yang sehat di antara kekuatan ekonomi yang seimbang.

Anomali Otonomi Daerah

Pemerintahan baru yang terbentuk pasca reformasi rupanya tidak memahami kultur sosial ekonomi yang bukan hanya merupakan aset masyarakat, tapi juga aset pemerintahan. Keberadaan pasar tradisional sesungguhnya memiliki kemampuan menyerap ribuan tenaga kerja dan wiraswasta, juga memberikan pajak dan retribusi yang berkelanjutan.

Obsesi penguasa menciptakan kota yang eksklusif dan megah membuat pemkot Cimahi menggalakkan proyek-proyek mercusuar “pamer”, untuk menunjukkan prestasi di mata “orang luar”. Pembangunan mega proyek baik yang menggunakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD), anggaran pemerintah pusat dan bahkan anggaran yang bersumber dari utang, tidak mempedulikan kemungkinan kesalahan /kegagalan dari proyek.

Tanpa kajian ekonomi yang memadai, dengan terlalu mudah menyimpulkan prioritas pembangunan, dibangunlah gedung pemerintahan mewah, mal, pusat perbelanjaan mewah. Praktek pembangunan tersebut tidak mempedulikan realitas ekonomi dan sosial masyarakat. Anggaran negara dihamburkan untuk memuaskan obsesi penguasa. Meskipun tampak jelas bahwa rakyat tengah mengalami kesulitan ekonomi akibat krisis berkepanjangan dan membutuhkan dukungan pemerintah untuk menghidupkan kembali ekonomi masyarakat yang tengah lesu.

Obsesi penguasa daerah semacam itu, sangat jelas terlihat dalam proyek perdana pembangunan Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Antri (KP3A). Proyek ini konon dimaksudkan untuk meningkatkan sarana perdagangan perkotaan yang terdiri dari pasar tradisional, ruko, gedung perparkiran, dan taman kota. Nyatanya proyek ini terdiri dari Cimahi Mal dan Pasar Antri Baru (PAB) dengan konsep pasar modern.

Cimahi Mal disebut sebagai simbol berdirinya kota Cimahi. “Untuk jadi kota, harus ada mal” demikian propaganda yang dihembuskan penguasa dalam rangka mendapatkan legitimasi untuk mengusir rakyat kecil dari wilayah penghidupan mereka di Pasar Antri. Sehingga seperti angin badai yang tak disangkakan sebelumnya, pemkot bersama jajaran penguasa lainnya mengultimatum pedagang Pasar Antri yang telah berjualan berpuluh-puluh tahun untuk menyingkir dari wilayah tersebut.

‘’Kota Cimahi membutuhkan sarana perdagangan yang memadai‘’ demikian bunyi salah satu kalimat dalam MoU dirut PT. Bumi Kencana Indah (BKI) dan walikota Cimahi, kedua sobat yang menjadi relasi dalam pembangunan berbagai proyek ekonomi sejak dekade sebelumnya di administrasi kota Bogor. Namun, di balik kamuflase pembangunan sarana perdagangan untuk menunjang kehidupan kota yang bersih, asri, nyaman, tertib, indah, dan sederet kata bagus-bagus, tersembunyi niat penguasa untuk meraup keuntungan dari proyek bisnisnya dengan pengusaha.

Telah menjadi rahasia umum proyek-proyek besar yang dibiayai dengan APBD, APBN atau anggaran lainnya yang bersumber dari utang luar negeri, adalah sumber uang para penguasa. Proyek-proyek menghasilkan fee bagi para pengusasa dan keuntungan besar bagi para pengusaha yang menjadi koleganya. Tidak jarang segala daya upaya dilakukan oleh penguasa untuk menyukseskan proyek semacam itu, meskipun harus menggunakan cara-cara paksa seperti penggusuran dan pengusiran paksa rakyat dari wilayah kelola mereka.

Proyek Penggusuran Usaha Kecil

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, proyek pembangunan Cimahi Mal satu paket dengan pembangunan Pasar Antri Baru (PAB). Berbeda dengan pembangunan Cimahi Mal yang dihajatkan bagi para pedagang besar kelas atas, suatu “pusat perbelanjaan termodern dan termegah se-Asia Tenggara”, pembangunan PAB diniatkan sebagai relokasi terhadap para pedagang yang sebelumnya berjualan di Pasar Antri.

Mengapa lokasi Pasar Antri dijadikan mal dan mengapa para pedagang direlokasi ke Pasar Antri Baru. Alasannya sederhana, lokasi Pasar Antri sangat strategis, mudah dijangkau dan terletak di jantung Kota Cimahi dan menjadi pusat dari lalu-lintas kendaraan di wilayah tersebut. Lokasi yang sangat strategis tersebut menjadi incaran para pengusaha besar untuk meraup keuntungan dari masyarakat. Mengapa para pedagang di Pasar Antri sampai harus digusur dulu baru bisa meng-antri untuk menyewa Pasar Antri Baru ? Alasannya juga jelas, lokasi yang baru kurang strategis sehingga akan kurang diminati oleh masyarakat. Dengan demikian posisi pengusaha besar tidak tersaingi oleh pedagang-pedagang kecil. Inilah sifat dasar penguasa Indonesia dewasa ini, mereka lebih memilih bekerjasama dengan para pemodal besar, dan lebih rela mengorbankan ekonomi rakyatnya. Gejala semacam ini telah menjadi gejala yang menasional.

Demikian pula dengan penguasa Kota Cimahi, pertimbangan ekonomi masyarakat merupakan hal yang tidak prioritas. Yang terpenting adalah bagaimana megaproyek segera dilakanakan, karena akan memberi keuntungan bagi penguasa dan pelaksana proyek.

Diawali dengan uang jaminan dari PT Bumi Kencana Indah (PT. BKI)[1] sebesar 20 miliar sebagai bukti kesanggupan, pembayaran SGU atas lapangan Sriwijaya yang dibayarkan PT BKI kepada PRIMKOPAD III Zidam Siliwangi sebesar 300juta rupiah ditambah 5 % inflasi per tahun hingga 25 tahun, sebelum akhirnya bangunan Pasar Antri Baru (PAB) dikembalikan kepada pihak tentara secara built operate Transfer (BOT). Konon, uang penghasilan sewa 2 tahun pertama cukup untuk membeli tanah TNI-AD yang baru di wilayah Kec. Ngamprah.

Harapan akan keuntungan yang besar yang diperoleh pemangku kekuasaan ini menyebabkan berbagai upaya dilakukan untuk mengambil-alih lahan Pasar Antri yang ditempati oleh masyarakat. Tangan besi penguasa menggempur para pedagang yang hendak mempertahankan hak hidup yang sudah diwarisinya tiga generasi, memaksa agar pedagang mengikuti kemauan pemkot, pindah ke lokasi baru. Sementara di lokasi Pasar Antri Baru, para pedagang harus membayar 26-60 juta rupiah /kios. Bagai orang dipaksa keluar dari rumah orang tuanya, dengan disuruh menyewa di apartemen, karena rumahnya akan dijadikan hotel agar ada hotel di kotanya.

Pembangunan Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Antri tanpa ada pertemuan dan musyawarah dengan elemen masyarakat. Penguasa Cimahi berdasarkan Surat perintah Pangdam III Siliwangi Mayjen Ridwan Sulandjana tertanggal 7 Juni 2003, menggunakan segala kekuatan jaringan pengamanan dan keuangan daerah untuk sesegera mungkin mewujudkan Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Antri (KP3A) tersebut.

Agustus 2003 terwujudlah PAB yang disediakan sebagai lokasi ‘relokasi’ paksa bagi pedagang Pasar Antri, sementara Cimahi Mal yang diproklamasikan peresmiannya tepat 7 hari setelah pengumuman kemenangan walikota dalam PILKADA 8 September 2007.

Skandal Kepemilikan Tanah TNI

Proyek pembangunan Mal sudah hampir dibatalkan. Status kepemilikan tanah ternyata bermasalah. MoU antara Suryadi Baruna selaku pengembang kawasan dengan Walikota Cimahi Itoc Tochija yang mewakili pemkot selaku pemilik tanah tidak memadai secara hukum, karena kemudian pihak MABES-AD membuktikan secara sah bahwa tanah satu hektar lokasi rencana mal tersebut berdiri adalah sebagian besar milik TNI-AD[2].

Memang dari semula, tidak ada pihak BPN ataupun kelurahan Setiamanah Kec Cimahi Tengah yang sanggup menunjukkan bukti secara terbuka bahwa tanah tersebut adalah milik Pemerintah Kota Cimahi. Malahan otoritas penggusuran pun adalah surat keputusan walikota, sementara aset kios pasar sesungguhnya masih merupakan milik Pemkab. Bandung.

Berlarut-larutnya penyelesaian masalah status tanah memicu kebangkrutan PT. BKI. Hal ini memang agak kurang jelas penyebabnya, apakah PT BKI menjaminkan aset tanah tersebut kepada bank sebagai sumber pembiayaan ? atau ternyata perusahaan menyandarkan sumber pembiayaan proyek dari uang muka penyewa kios (tenant) sementara calon penyewa tidak sesuai dengan perkiraan perusahaan ?. Informasi tentang penyebab kebangkrutan tidak jelas sama sekali. Yang jelas pada saat bangkrut perusahaan ini meninggalkan hutang konstruksi yang terhenti pembangunannya selama 4 tahun.

Alhasil, sengketa tanah berkepanjangannya membuat mundur investor PT. BKI sehingga keuangan perusahaan goyah, dan hasilnya proyek KP3A tidak sebagaimana yang direncanakan. Proyek ini akhirnya memfokuskan dirinya pada pembangunan Cimahi Mal. Pembangunan Mal terkesan dipaksakan untuk menutup malu pemkot Cimahi, karena sesungguhnya proyek penggusuran sekitar 2000-an kios milik masyarakat boleh dikatakan telah gagal membuahkan hasil kemjuan .

Manajemen pengembangan kemudian diambil alih PT Tata Mulia Cemerlang (PT. TMC) pada sekitar ahir tahun 2006, yang berhasil dibujuk pemkot dengan iming-iming prospek modernisasi Pasar Antri tersebut. Perusahaan anggota TATA Grup tersebut konon merupakan perusahaan konstruksi tingkat internasional.

Mega Proyek yang Gagal

Dari lima lantai yang dibangun hanya dua lantai terbawah yang terisi. Dua lantai (lantai 2-3) praktis kosong. Meskipun pihak pemkot mengobral blok-blok mal sebulan dengan membayar Rp 1,5 juta akan tetapi juga tidak berhasil menarik minat para pedagang. Para pedagang handphone dan accessories di alun-alun Cimahi mengaku dibujuk pihak pemasaran mal. Beberapa pedagang HP dan Accesoris pernah mencoba akan tetapi hanya bertahan satu bulan karena sepi pembeli dan jadi merugi.

Semula harga kios Rp 30juta-an/m2 untuk 25 tahun, kini tak menentu dipasarkan berdasarkan kemampuan dan kemauan tenants, ada yang Rp 300.000/m2/th, ada yang Rp 20.000/hari, ada yang Rp 4,5 juta /bulan dan sebagainya. PT. TMC memberi kesempatan pengusaha yang mau untuk coba-coba dalam jangka pendek. Konsep lini produk pun berubah drastis, akibat sudah batalnya banyak tenants yang semula sudah membayar uang muka atau setidaknya mempertimbangkan niat menyewa di mal, seperti Texas Fried Chicken, YOGYA Department Store dan Pizza Hut. Walaupun agak sulit menarik kembali uang muka. akhirnya Pizza Hut dan YOGYA Dept Store pun memahami persoalan ekonomi di Cimahi dan mereka kini membuka gerai usahanya di Jalan Raya Barat, jalan arteri negara yang memang ramai dilalui massa, dan bukannya di Cimahi Mal.

Cimahi Mal sendiri hanya merupakan kamuflase proyek pembangunan ekonomi, yang tidak lebih dari tindakan politis memaksakan rampungnya MoU antara walikota CImahi dan dirut PT BKI. Kios-kios pun terisi tanpa prospek yang jelas, kecuali GIANT Supermarket yang mengambil alih lahan hidup pedagang Pasar Antri Baru korban gusuran dari Pasar Antri 2004. Janji walikota Cimahi bahwa proyek Cimahi Mal akan menyerap 6000 tenaga kerja, ternyata hanya menyerap segelintir pemuda dari FKPPI, ORMAS local seperti GMPC dan bapak-bapak RW setempat sebatas jadi SATPAM. Geliat kegiatan perbelanjaan modern pun jauh sebatas impian pemkot, karena yang menyewa kios kini pun hanyalah spekulator pemula dagang, karena tarif sewa yang dikenakan manajemen BKI sebatas ‘asal ada’ dan jauh dari tarif.

Demikian halnya dengan PAB, proyek bisnis komersial antara walikota dan pengusaha gagal secara menyedihkan. Akibatnya target pendapatan sewa tidak terealisasi. Keadaan ini otomatis menyusutkan juga setoran-setoran pada para birokrat. Akhirnya untuk mengejar setoran sewa, manajemen mengobral setiap jengkal koridor di PAB, baik itu di terminal, lapang parkir, kolong tangga, celah belokan, sisi selokan, kepada para PKL.

Tidak seperti yang dipresentasikan pihak BKI di hadapan MUSPIKA, kini wujud PAB lebih kumuh, bahkan lebih bau daripada Pasar Antri legendaris. Jika demikian, apa bedanya PAB dengan pasar tradisional yang menampung PKL, semrawut, kumuh, becek, tak teratur, tidak nyaman, tidak bersih, bau, dan sederet alasan yang biasa digunakan birokrasi untuk menggusur pasar tradisional dan pKL? Lantas, kenapa PAB tidak digusur-gusur lagi ?

Kegagalan membangun Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Antri (KP3A) tidak diakui secara yuridis maupun de facto, karena pemerintah kota cenderung mengubur hancurnya sendi perekonomian Cimahi karena penggusuran Pasar Antri, penggusuran PKL Gandawijaya, perubahan arus jalan negara Raya Barat Cimahi- Gandawijaya, dan pemasangan median di alun-alun telah menghabiskan lahan nafkah ribuan keluarga dan mematikan akar pertumbuhan ekonomi perkotaan. Sebelumnya pemeritah mengasumsikan bahwa pusat perbelanjaan modern seperti mal akan lebih mewakili kemajuan suatu kota, mungkin peradaban masyarakat yang bermartabat dan tampak tinggi derajatnya di hadapan para investor metropolis untuk mengumpan masuknya permodalan global berikutnya.

Kegagalan total proyek adalah karena motivasi yang salah, dan pangkal dari niat untuk menghalau segala demokrasi, logika ekonomi dan analisa social ekonomi lingkungan yang obyektif dalam manajemen suatu pasar rakyat. Tata kelola pasar yang diadopsi dari pengusaha emas dan perkapalan yang merupakan profesi manajer dan direksi PT BKI, tidak relevan dengan pengelolaan pasar tradisional ala Cimahi.

Keledai itu bernama “Bank Dunia”

Dan tanpa niat untuk mengenali apa yang sesungguhnya telah terjadi dalam perekomian Cimahi, pemkot terus melaju dengan proyek Pasar Atas Baru (PA Baru). Kali ini memanfaatkan dana yang bersumber dari bank Dunia (WB). Semula Bank Dunia pun tidak bisa memutuskan apakah proyek ini memang diperlukan atau tidak, sehingga selama 2002-2008 dilakukan studi kelayakan, proposal, berulang kali re-konsep baik dalam rancang bangun, peruntukan, kelas, lini produk dll, terkait rencana PA Baru.

Proses studi kelayakan menggunakan dana pendamping yang harus disediakan Pemerintah setempat. Seperti juga proyek-proyek pinjaman Bank Dunia lainnya, pemkot diwajibkan menyediakan dana pendamping yang diambil dari DAU APBD Cimahi sebesar 10 % dari nilai proyek. Pemerintah Kota Cimahipun mengeluarkan sedikitnya Rp 1,41 miliar. Dana yang cukup besar dan sesungguhnya membebani anggaran daerah.

Anehnya, walaupun katanya dilakukan survey lapangan dan studi profesional yang dilakukan secara independen (masing-masing versi), tapi selama 6 tahun masa inkubasi proyek USDRP tersebut, pihak tim USDRP tidak mengetahui adanya kegagalan structural dari proyek perdana pemkot Cimahi yaitu Pasar Antri.

Bank Dunia tidak sedikitpun menengok kepada kondisi terkini dari masyarakat yang dimiskinkan oleh rekayasa proyek cybercity-nya pemkot. Bank Dunia menyalurkan dana Rp 14 miliar dalam bentuk USDRP (Urban Sector Development Reform Program). USDRP merupakan program pinjaman lunak dari Bank Dunia atas nama pembangunan perkotaan mandiri yang diluncurkan di Bali (Januari 2003).

Konon hubungan dengan Bank Dunia dimulai saat Ir. H. Itoc Tochija, MM berkeliling dunia antara lain ke Washington, DC. Selain ke Tokyo, sebagai walikota CImahi. Kota CImahi mengajukan beberapa proposal proyek untuk didanai USDRP-World Bank, yaitu sempadan Sungai Cimahi, jembatan flyover Pasirkaliki – Padasuka, dan Pasar Atas Baru.

Setelah melalui proses pengkajian dan evaluasi dengan bantuan PT. Project Concern Indonesia sebagai konsultan yang ditunjuk WB, akhirnya yang disetujui oleh tim USDRP adalah proyek yang bisa menghasilkan pendapatan ekonomi, atau cost recovery, Pasar Atas Baru. Melalui kegiatan operasional pasar modern tersebut, diharapkan uang sewa kios, parkir kendaraan bermotor, pungutan toilet, bisa menyumbang PAD untuk pemkot Cimahi mengembalikan dana pinjaman kepada Bank Dunia.

Dimulailah proses pembuatan rancangan proyek, pengajuan proposal, pembentukan panitia yang merupakan kolaborasi antara Departemen Keuangan, Depkimpraswil, BAPPENAS dan Departemen Pekerjaan Umum sebagai Project Monitoring Unit (PMU)atas tim USDRP di pemerintahan kota CImahi yang meliputi unsur berbagai eselon dan kedinasan seperti Asisten Perekonomian, Dinas LH, Tatakota, Disperekop di bawah koordinasi BAPPEDA Cimahi.

PT PCI sebagai konsultan yang ditunjuk oleh WB sendiri (keterangan pemkot, 2006) dan juga yang diajukan oleh pemkot Cimahi (Versi WB, 2008). Tim dari PT PCI melakukan survey lapangan ke PKL Gandawijaya (2003). Survey dilakukan terhadap sekitar 780 unit terdaftar di KALIBER (Kaki Lima Bersama), suatu organisasi PKL setempat.[3]

Proyek PA Baru akan menampung PKL Gandawijaya yang menurut rekomendasi Ir. Soewarno dari Depkimpraswil merupakan masalah utama kota CImahi yang membuat kumuh dan macet Jl. Gandawijaya, mencemari penilaian kesuksesan pembangunan kota Cimahi. Rekomendasi Depkimpraswil sebagai salah satu lembaga berwenang dalam penilaian kinerja pembangunan kota, memperkuat niat pemkot untuk menggusur PKL Gandawijaya. Niat membersihkan kota dari citra kumuh, sesak, macet dan semrawut dibungkus oleh ambisi menggolkan proposal dana dari Bank Dunia.

Tim USDRP bekerja keras untuk mencari dan merumuskan landasan legitimasi bagi terwujudnya proyek PA Baru. Hasilnya, sebuah studi kelayakan yang menyimpulkan bahwa pembangunan Pasar Modern Atas Baru layak secara ekonomis, feasible, bankable, partisipatif dan menguntungkan. Praktis seluruh indikator penilaian yang dibutuhkan dalam rangka membangun PA Baru dapat dipenuhi.

Suatu kesimpulan studi kelayakan yang sangat aneh. Studi kelayakan selama 4 tahun tim USDRP sama sekali tidak memahami konflik sosial budaya ekonomi yang terjadi di Cimahi. Bagimana mungkin proyek ini layak secara ekonomi, padahal tarif Pasar Atas Baru Rp 60 juta /kios sama-sama tarif komersial dan konsep di Cimahi Mal sudah terbukti tidak laku karena konsep seperti itu terlalu tinggi untuk ukuran kapasitas sosial ekonomi rakyat Cimah. Hanya keledai terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama…!!!

Liem Mei Ming

Komunitas Belajar Bersama Rakyat - Cimahi




[1] PT. BKI adalah badan hukum usaha yang didirikan di Bandung, berkedudukan perumahan Metro Soekarno Hatta tanggal 11 April 2002 di hadapan notaris Ayi Mandar, SH, dengan komisaris utama Supakat Hadrianto. PT BKI mendapat penunjukan langsung untuk pengembangan Kawasan Pusat Perdagangan Pasar Antri (KP3A) atas dasar SK Walikota nomor segala perjanjian usaha dan kesepakatan (MoU) dalam rangka proyek KP3A dilakukan oleh Suryadi Baruna selaku direktur utama. Suryadi Baruna sendiri adalah rekanan beberapa proyek yang ditenderkan pemkot Bogor semasa Itoc Tochija menjabat sekdakot Bogor di tahun 1990-an.

[2] Kesepakatan kerjasama (MoU) dibuat atas Surat Perintah PANGDAM III Siliwangi saat itu, Mayjen. Ridwan Sulandjana tanpa pemberitahuan kepada MABES TNI-AD. KSAD saat itu Jend. Ryamizard Ryacudu mengetahui adanya transaksi Sewa Guna Usaha bagian tanah TNI-AD untuk KP3A itu saat melewati lapangan Sriwijaya dalam perjalanan acara protokoler kemiliteran di Cimahi, dan melihat ada bangunan Pasar Antri Baru di atasnya.

[3] Keterangan PT. PCI dalam rapat bersama Pemkot Cimahi, Bappeda, PU, Bank Dunia dan perwakilan LSM tanggal 1 Oktober 2006 di ruang rapat Bappeda Lt. 3 Gedung Pemkot Cimahi.

KASUS HUKUM, KORUPSI DAN HAM SEHUBUNGAN DENGAN TANAH SENGKETA

SEKELOMPOK KASUS HUKUM, KORUPSI DAN HAM SEHUBUNGAN DENGAN tanah SENGKETA bekas hak eigendom Verponding no.3233 atas nama Nji Mas Siti Aminah alias Nji Mas Entjeh (NME) alias Osah. status sengketa berdasarkan surat BPN Nasional no. 2080-630.3-DV3 tanggal 3 Juli 2007 yang memerintahkan BPN cimahi untuk menangguhkan segala peralihan hak sampai ada putusan hukum tetap

Sejak puluhan tahun lalu sudah beberapa kali terjadi penggusuran oleh pihak-pihak berlainan atas tanah 2,9ha yang dihuni ratusan keluarga oleh berlainan pihak termasuk oleh Awong Hidjaja (pengusaha, pemilik Hadtex / salah satu pemegang saham PT Panasia Indosyntex) juga Astra International, Inc. Ahli waris pemilik menggugat ke Pengadilan Negeri Bale Bandung. Sengketa tanah puluhan tahun dan tuntutan ke lembaga berwenang di kabupaten bandung, propinsi Jawa barat hingga Mahkamah Agung. Termasuk audiensi ke DPRD Jawa Barat mendorong Eka santosa sebagai ketua DPRD JAbar pada 7 desember 2000 memberi rekomendasi kepada PNBB dengan berasumsi tanah milik Nji Mas entjeh maka ahli warisnya Nji Mas MinaH. Proses penelitian dan persidangan berlanjut, pada 4 Juli 2002 PNBB memenangkan gugatan ahli waris Nji Mas Entjeh dan membatalkan demi hukum semua akta jual beli, sertifikat beserta PK-PK terkait yang mendasari penguasaan yang diakui oleh pihak2 lainnya. Namun selanjutnya terjadi lagi gugatan oleh Nunung … sehingga BPN Nasional mengeluarkan keputusan pada tahun 2007 tanah tersebut berstatus quo.

Pihak Ny. Ida Roosliah yang melakukan penggusuran pada 6 Januari 2005 setelah perjanjian usaha komersial dengan Idris rekanan Itoc, juga pada hukumnya tidak berhak atas kuasa tanah. Pewarisnya, freddij Hugo-Fraeyhoven, sudah menandatangani surat perjanjian bersama, berupa pelepasan hak oleh R. Soma bin Wargadiredja, Freddij Hugo-Fraeyhoven dan Uding bersaudara dan tiap pihak dengan PJKA sudah menerima uang perdamaian bagian masing2... menurut saksi, Ida Roosliah sudah menerima bagian melalui kuasa hukumnya Efendi Adiwinata, SH sebesar Rp 40.833.333,00 pada tanggal 5 mei 1984. Berarti semua pihak yang turut membeli tanah itu dari Soma bin Wargadiredja, yaitu Astra internasional dan Awong Hidjaja melalui PT. Adhi dharma Bumi Indonesia Indah, juga batal demi hukum sebagai pemilik tanah tersebut.

setelah Cimahi Mal kelihatan gagal, karena 2004 dicekal MABES-AD (Ryamizard Ryacudu) lalu sempat ditawar2kan ga laku, tidak ada perusahaan /pengusaha yang mau membeli proyek tsb, Itoc mengalihkan pandangan untuk melahap uang dari tanah Cimahi, ke tanah sengketa di Cibeureum, untuk membuat Pasaraya Cibeureum dengan prototype Pasaraya Blok-M. Menggandeng Idris Ismail pengusaha Jakarta (trading, exportir, kontraktor asal Palembang) dengan PT Linggabuwana Wisesa (katanya linked dengan Abdul latief, walau PT nya baru dibuat.. gatau deh. biasanya sih gitu. dadakan bikin ke notaris), Itoc membuat segenap perjanjian bisnis, fee, komisi, bagi untung. mereka bersekutu dengan Ny ida Roosliah sebagai ahli waris dari Freddij Hugo-Fraeyhoven. Perjanjian mereka : Ny Ida Roosliah menggunakan hak nya atas tanah untuk menggusur warga di sana dengan alasan diambil oleh pemilik, akan digunakan, lalu Idris akan mengeluarkan uang untuk membayar ganti rugi. kemudian pemkot menanamkan modal menggunakan APBD ke PT LBW-nya Idris Ismail untuk membangun proyek 0Pasaraya.

Masuk ke ruang DPRD bundel pembelaan hak dan permintaan Ny. Hj. Ida Roosliah (meninggal beberapa bulan sebelum penggusuran 2005) lewat ahliwarisnya Hj. Neni, mengaku sebagai pemilik tanah tersebut, untuk memperoleh kembali tanahnya yang masih dihuni puluhan keluarga yang tidak mau pergi. DPRD komisi A berperan mediasi antara warga calon tergusur yang membawa pengacara (berganti-ganti : Effendi Saman/ LBH Nusantara, yang kemudian kata warga membawa pergi semua uang tanpa kabar, lalu oleh Aden, SH dkk / GAK-HAM kota Bandung). Tidak ada kesepakatan.

6 Januari 2005 Terjadi penggusuran yang menghabiskan sisa-sisa peradaban di atasnya. Ada satu rumah dengan usaha mebel yang sudah berjalan 30-40 tahun, kos-kos-an sepuluh tahun, kios warungan, PKL dll. Cara penggusuran sangat tidak manusiawi. Seorang ibu (Silaban) dengan semua kaki tangannya diboyong oleh POLRES, bagai sapi mau ke pejagalan. Hampir seperti pasar Antri, walau dengan jumlah yang jauh lebih sedikit, penggusur adalah unsur keamanan gabungan dari POLRESTA, PROVOST, KODIM0609 dengan bulldozer nya. Warga hanya bisa menunjukkan protesnya dengan bakar ban yang membuat macet km-an jalan lintas propinsi tersebut menuju perbatasan kota Bandung.

Warga selama berbulan-bulan menuntut ganti rugi, ada sedikit yang menerima karena diberi Rp 650.000/m2. sisanya tidak, karena hanya ditawarkan Rp 350.000/m2. DANDIM0609 menjadi jurubicara pihak penguasa dalam berbagai kesempatan, menjanjikan gantirugi yang layak kepada korban gusuran. Pihak penguasa (terutama kODIM) melempar black campaign di media massa terhadap warga yang diberitakan mencari keadilan.

Untuk mewujudkan harapan bahwa Pemkot sendiri dengan dirut nya walikota, bisa menanamkan modal ke PT LBW, untuk mendapat keuntungan yang lebih jelas daripada di proyek Cimahi Mal yang gagal, DPRD bergegas2 berkonsultasi dengan pengeluaran anggaran untuk perjalanan dinas ke depdagri, dan DPR komisi 2. Hasilnya, mereka dinasihati oleh DPR dan Depdagri (dan Depkeu) untuk berinvestasi sebagai pemegang saham di PT tidak boleh pemkota secara langsung, tapi bisa dengan membentuk BUMD.

barulah saat itu berhembus di kalangan awam, akan membangun pasaraya di Cibeureum.

jadilah DPRD rapat pansus apakah perlu membentuk BUMD Jati Mandiri, yang berarti akan ada pengalokasian APBD pemkot untuk modal di BUMD, yang akan disertakan ke PT LBW.

Itoc mengundang DPRD, ketua fraksi dan ketua komisi dan kawan2 yang bisa diajak berunding, tentunya tanpa seorangpun PKS, untuk makan malam di café la Rose, 2006 di Burangrang Bandung. Menawarkan kepada para anggota DPRD yang memenuhi undangan makan malamnya, uang 3% dari uang 89miliar, seandainya disetujui oleh DPRD dalam rapat paripurna untuk APBD 89M dialokasikan untuk penyertaan modal BUMD Jatimandiri di PT LBW. Berarti sekitar 2,6 milyar dibagi 35 orang jumlah total anggota DPRD, lumayan. Atas tawaran ini, Ketua 'boneka' DPD GOLKAR yang ‘baik’, pak Soediarto mengundang semua anggota fraksi GOLKAR ke DPD Golkar, membahas apakah akan menyetujui tawaran Itoc. eh, dibocorkan Asep Taryana ke wartawan Republika, temannya, supaya di expose... jadilah ramai diberitakan dan dikonfirmasi koran2 lokal. Dan beberapa anggota dprd membenarkannya dan pemkot tidak bisa menyangkalnya. Alur kasus ini cukup mengalir di media local saat itu, hingga Asep Taryana diancam untuk di-‘re-call’ karena membocorkan rahasia pimpinan. Tapi ketika kemudian saya bertemu Achmad Zoelkarnaen saat ketua fraksi PKS dan menanyakannya, beliau menjawab “Iya mana.. ga ada tuh uangnya, sampai sekarang tokh ga ada kita terima.”

akhirnya Rapat Paripurna, memang akhirnya DPRD menyetujui pembentukan BUMD dengan Rp 89 miliar investasi dari APBD dicicil dari 2006-2011. Walaupun keputusan DPRD ini kontroversional di kalangan masyarakat CImahi yang kritis, tetap diberlakukan. urusan uang... seperti biasa, memicu konflik horisontal. di tahun 2007, sepertinya perjanjian 27miliar dulu, tapi pemkot pun memanfaatkan rekomendasi DPRD dengan mengalokasikan senilai 31miliar rupiah keluar. di media massa lokal marak perang pendapat dan mempertanyakan uangnya kemana, jumlah berapa dsb antara DPRD, terutama fraksi PKS dan Iwa yang saat itu Kepala Bawasda (tapi saat itu berani bicara sekali2nya tentang bobroknya manajemen keuangan pemkot, gara2 jadi cawalkot pilkada september 2007). DPRD beraninya mengajukan protes cuma via media massa, karena memang saluran aspirasi ke Itoc bahkan dari DPRD pun prosedural kali. Akhirnya 31miliar dianulir jadi 27 miliar akun penyertaan modal BUMD Jati Mandiri dari APBD 2007.

BISNIS MUSPIKA CIMAHI ATAS TANAH SENGKETA

Itoc sudah mengamankan dulu skema ini di dalam MUSPIKA terutama perjanjian bisnis di bawah tangan antara walikota –DANDIM0609 Letkol Achmad Saefudin – Kapolres Permadi. Atas dasar keinginan gegabah memiliki bisnis kroni atas nama kota tanpa memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk pembangunan dan hidupnya suatu pasar sebelum untung usaha. kata Pak Ridho Budiman Utama , proyek Pasaraya Cibeureum menjadi jatah KODIM0609. Hal ini logis menurut saya, karena di masa penggusuran warga dari tanah tersebut 6 Januari 2005, itu DANDIM0609 yang ‘pasang badan’, membela pihak proyek dan pemkot, menjanjikan gantirugi ke warga, baik melalui media massa maupun pertemuan2 dengan korban yang mengadu… ada dokumentasi Koran cuap2 dan promosi DANDIM0609 seolah jadi JURUBICARA sekutu penguasa dan pengusaha proyek tersebut. Tapi saat penggusuran, tidak disinggung sama sekali rencana Pasaraya Cibeureum… hanya dikatakan Ny. Ida Roosliah ingin mengambil haknya. Dan warga ga bersertifikat.

NAMUn rupanya para pensengketa tanah tidak tinggal diam. muncul ke permukaan dan media massa lokal pasca penggusuran, banyaknya pihak yang masih menuntut tanah tersebut

KEBERLANJUTAN SENGKETA TANAH

23 Januari 1984 MA no 2500K/Sip/1981

27 April 1998 Boeddy mengajukan PK berdasarkan surat bukti baru berupa Akta keterangan dan Pernyataan no 48 tanggal 19 Agustus 1987

15 Oktober 2003 MA no 92K/Pdt/2000 menyatakan Ida Roosliah berhak atas tanah

November 2004 Raden Ida Roosliah menjadi almarhumah (dosa sih kali...atau menanggung beban yang terlalu berat)

Majalah Ombudsman, Desember 2006

5 Januari 2005 penggusuran sisa2 penghuni

Pokok-pokok pelanggaran hukum pihak Ida Roosliah dengan pengacara Boeddy Irawan:

- sudah menggunakan surat bukti baru 4 Oktober 1995

- tidak memiliki kualitas dan kapasitas hak untuk mengajukan PK karena pihak terkait perkara no. 2400K/Sip/1981 jo. No. 564/1979/Perd/PTB / jo. No. 75/74/C/Bdg telah melakukan perdamaian.

- telah menerima hasil perdamaian sebagaimana terbukti dari akte perjanjian perdamaian 16 September 1978 (lampiran 6) dan SUrat Kuasa 7 Agustus 1976

Nunung Hidayat selaku pihak keluarga tergugat PK melaporkan pelanggaran tersebut ke Polwiltabes Bandung dengan tuduhan perbuatan tindak pidana sumpah palsu per KUHPidana 242(1).

24 April 2006 MA no 167K/Pid/2006 mempidana kurungan dua bulan atas perbuatan Boeddy Irawan sumpah palsu.

Sampai sekarang keberadaan Boeddy Irawan tidak diketahui public (tapi Effendi Saman ketika meninjau persiapan FDWP tanggal 25 Juli 2008, mengaku ‘ada tuh Boeddy Irawan, di rumahnya.. mau, diantar?’), pihak Kejari tidak menindaklanjuti putusan MA tsb. Oknum2 Kejari Bandung yang mengetahui proses lolosnya terpidana sebagai ‘buron’ hingga saat ini adalah : Wing Barsal (Kasie Pidum), Emanuel Ahmad (JPU), Bruno (staf).

September 2006 Kejari menyampaikan surat pemanggilan Boeddy Irawan no. B-2098 10.2.10-3/Euh.2/09/2006 kepada Ketua DPC Ikadin Bandung, Binsar Sitompul.

Binsar Sitompul mengaku perbuatan anggotanya telah mencoreng profesi pengacara dan mengusulkan perlunya uji psikotes setahun sekali sebaga isyarat peroleh izin pengacara, karena menangkutkredibilitas profesi di mata masyarakat. Karena belum terbentuk dewan kehormatan di cabang, persoalan telah dilaporkan ke Ikadin DPP.

terbitan Republika

pihak bersengketa a.l. atas nama Ny Ida Rosliah, Soma bin R Wargadiredja, Nyi Mas Minah alias Mimi, Udung, Nunung Hidayah, Adang Efendi, Entje Kartana

Komentar Achmad Zulkarnaen DPRD FKS ketua komisi D

pemkot tak akan bisa menyatakan milik sedemikian seandainya kepolisian dan kejaksaan Cimahi kuat.

Di harian Pikiran Rakyat dkk. memasuki 2008 Walikota menyatakan bahwa tanah tersebut akan dijadikan Cimahi Town Square. sebuah Town Square tentunya beda dengan Pasaraya. pasaraya kan bentuk mal. kalo Town Square kan kantor2 paling. (analisaku : ini gara2 Cmahi mal yang dibuka paxa setelah seminggu kemenangan Itoc licik di PILKADA, ternyata sepi juga dari penyewa maupun pembeli. jadinya Itoc menyadari setelah beberapa bulan maxa buka Cimahi Mal, ternyata bentuk seperti pasaraya Mal Shopping centre memang kurang bagus di Cimahi). itoc tochija memanfaatkan terombang-ambingnya hukum Indonesia dengan melesat mewujudkan ambisinya memiliki satu lagi proyek besar di Cimahi, kali ini : town square. Pemkot merasa aman dengan kawalan BPN Cimahi, kini sudah mendirikan rangka terminal. PNBB(Pengadilan Negeri Bale bandung) yang mempunyai wewenang (karena memiliki surat BPN PUsat bahwa tanah tersebut sengketa) MEMBIARKAN pembangunan fisik yang dijaga aparat KODIM0609.

PNBB pun membiarkan Boeddy Irawan hingga kini tidak menikmati ‘2 bulan’ penjara karena sumpah palsu.

Siaran pers Itoc ini mengagetkan DPRD yang tidak tahu-menahu. Banyak anggota DPRD yang berpendapat seharusnya walikota mempertanggungjawabkan perubahan konsep kepada DPRD. Tapi ini tidak terjadi2, karena jadwal ‘rapat’ PANSUS PANGGAR yang tidak pernah habis sejak PILKADA September 2007, apalagi rapat senantiasa di luar kota CImahi (yaitu kota Bandung, Jatinangor, Cipanas, Ciater, Ciloto) sehingga tidak ada waktu untuk di kantor dan mengurusi yang hakiki di kotanya sendiri atau berkonsolidasi ke dalam. apalagi saat laporan ini disusun, praktis para anggota DPRD sudah tidak mengantor tapi tetap digaji, karena mereka sibuk rapat dan konsolidasi dan loby untuk pencalegan 2009. Jadi DPRD ga ada waktu, termasuk PKS, untuk mengurusi hal2 'seperti ini'.

Rapat Itoc 10 Mei 2007

pada rapat Itoc 2 Mei 2007, hingga saat tersebut dana belum sampai di pihak proyek. jadi dikemanakankah, karena sejak APBD 2006 sudah keluar, secara fisik 47 miliar. ini dikarenakan memang pengurusan legal administratif manajemen keuangan via rekayasa BUMDnya berhasil duluan daripada sertifikat tanah/legalitas hukum status tanah. jadi walau di APBD sudah dikeluarkan sesuai rencana, ternyata pembangunan fisik belum berani melanggar sertifikat2an.

karena hidung Itoc di DPRD yaitu ketuanya sendiri, Soetardja, mengadu bahwa DPRD bergegas2 (maklum, sesungguhnya mayoritas sebel sama eksekutif) hendak 'menjatuhkan' eksekutif, salah satunya dengan memanfaatkan celah2 KKN di PRC. jadi dipertanyakan dengar pendapat, rapatkan koalisi bisnis antara PD Jati Mandiri, PT LBW si Idris Ismail dan pemkot serta DPRD (hadir saat itu wakil ketua DPRD Djumena Wargasutisna yang lagi carmuk karena mau jadi calon wakil walikotanya Itoc dalam PILKADA Septembernya), kepala BPN Cimahi .. ini menunjukkan ketidak objektifan pihak BPN.

ternyata jawaban Uyat Suyatna (dinas pendidikan pemkot) sebagai direktur BUMD : bahwa dana penyertaan modal puluhan milyar itu belum ditransfer PD Jati mandiri kepada manajemen Kerja sama Operasi. --> jadi, selama 2 tahun ini, di manakan diinvestasikan uang tersebut? (tugas KPK)

senjata satu-satunya untuk melegitimasi proyek adalah SERTIFIKAT TANAH. 'menunggu pembatalan sertifikat lama untuk bisa membuat sertifikat baru' setelah bersikukuh dengan putusan PK MA (yang sudah diketahui palsu oleh pihak yudikatif hingga memvonis Boedy Irawan anak Effendi Adiwinata pengacara Ida Roosliah dipenjara 2 bulan). Badan PEngawas PD JM juga tidak berani melangkah (Achmad Solihin, TO kasus TPA LEuwigajah gate) dan menyarankan menunggu berhasil membuat sertifikat. katanya, pemberitaan media massa SEOLAH2 tanah SENGKETA. padahal MEMANG tanah sengketa. dan TIDAK AKAN MUNGKIN, kalau pun ada sangat kecil kemungkinannya, karena yang sangat kuat kedudukan hukumnya NMM sebagai pemilik sah dengan sertifikat yang sudah ada. sangat kecil kemungkinannya, YUDIKATIF membatalkan sertifikat lama. akhirnya para penguasa yang tergabung dalam RAPAT ITOC itu KEBELET Proyek harus jadi (entah mengapa, apa risikonya sih kalau proyek tidak jadi, sampai harus dipaksakan seperti ini?) sehingga KOlaborasi harus segera memiliki tanah tersebut, caranya MEMBUAT AKTA PENGOPERAN DAN PEMASRAHAN HAK tanah (LAMPIRAN 7, dengan notaris Rasman SH) 9 November 2007 (analisa : ini tanggal pasca APBD untuk walikota pasca pilkada boleh digunakan. jadi mestinya nyogok si notaris pake uang APBD entah alokasi yang mana. dana PILKADA kan bikin APBD minus rekening, jadi penggalangan proyek ini menunggu alokasi pasca pelantikan Oktober 2007. ya jadilah rapat November 2007 ini. Menyakitkan...)

Pihak I Djuandri Bunadi d.a. Jl. Swadharma Raya RT07 RW03 Kel. Srengseng, Kec. Kembangan, Jakarta

dengan pelaku : Idris Ismail d.a. Jl. Melati 23N RT04RW12, Kel Raim Badak Utara Kec. Koja (sudah ku telpon, adalah satu kantornya bidang trading, PT. . )

Saksi jual-beli : Anita Selasari Jl. Bogo31 Bandung dan Amrullah (pejabat dis huk pemkot Cimahi)

MENJUAL TANAH 2,4 ha senilai Rp 10.000.000.000 kepada

Pihak II BUMD JAtiMAndiri AJAN SUJANA Jl. Merkuri Raya 70 RT06 RW21 Sekejati Bandung Direktur Utama PD JAti Mandiri. (manusianya ada di rumah aslinya Jl Sahroni 25 telp 022-7203356, mengaku tidak punya uang, bukan pengusaha. saya tantang untuk jual-beli tanah, katanya uangnya cukup untuk naik haji saja. kataku "kan naik haji 10juta, pak?" katanya "ah, tutup aja teleponnya" ya saya tutup)

menurut AKTA tersebut, tanah bisa diperoleh pihak I dari pelepasan tanah di hadapan notaris Arif Winarno, SH DARI AKTA MANA SATU SALINANNYA BERMATERAI CUKUP DIPERLIHATKAN PADA SAYA, NOTARIS.

tidak ada bukti akta2 seperti itu legal berdasarkan hukum publik, HAM dan anti-korupsi. Dan akta tersebut keluaran 1901. logikanya, dengan nafsu dagang seceroboh ini, mengapa Idris tidak dari dulu meng-claim tanah tersebut.. koq baru setelah Itoc jadi walikota?

ANALISA

Transaksi tersebut menunjukkan bahwa BUMD Jati Mandiri bukan sebagai penyerta modal lagi tapi menjadi pemilik tanah (sengketa). Jika BUMD Jati Mandiri memang jadipemegang saham PT LBW, seharusnya Idris / PT LBW yang memang kaya, memiliki tanah dan mengerjakan proyek Pasaraya Cibeureum dan BUMD hanya menyertakan modal. Tapi yang terjadi sebaliknya : tanah dan proyek menjadi tanggung jawab LANGSUNG BUMD JM. Kemungkinan untuk memperlancar usaha PRC dan menerima porsi paling besar dalam pembagian keuntungan proyek nantinya (kalau jadi). Jadi ini hanya bagi2 kue proyek antara Idris, Itoc dan Ida Roosliah (dimanfaatkan doang ‘kepemilikan’ tanahnya)

Rapat BUMD diinisiasi dan dipimpin langsung Itoc menjadi salah seribu bukti bahwa Itoc terlibat langsung dalam proyek. Hal ini melanggar pasal 28 UU32/2004 yang Melarang Kepala Daerah dan wakilnya untuk membuat keputusan yang memberikan keuntungan khusus kroni, meresahkan masyarakat, mendiskriminasikan warga lain, turut serta dalam perusahaan, baik milik swasta maupun miik Negara/daerah . . .

pantas saja, Sementara persidangan sengketa tanah sudah memenangkan Nyi Mas Entjeh, pasca PILKADA September 2007 tiba2 pemkot mengumumkan bahwa tanah Cibeureum tersebut adalah milik PEmkot. Kepala BPN Cimahi konsisten di harian local secara terbuka berpihak pada pemkot “Kita mengikuti keputusan Pemkot.. . . terlalu lama menunggu Keputusan Pengadilan negeri”

Dipertanyakan kebenaran hukumnya, Armansyah ketua BPN kota Cimahi berkilah bahwa BPN berbeda dengan kejaksaan “silakan proses hukum berjalan. . yang pasti BPN berpegang pada hasil PK MA no 92K/Pdt/2000 ttgl 15 Oktober 2003 bahwa tanah tersebut milik Ida Roosliah, yang sudah menjual tanah tersebut kepada Idris (PT LBW sebagai pengembang PRC)”. Kesimpulan, pihak BPN Cimahi melakukan PELECEHAN HUKUM, PERILAKU TIDAK MENGHORMATI putusan MA ttgl 24 April 2006 no 167K/Pid/2006 yang mempidana kurungan dua bulan atas perbuatan Boeddy Irawan sumpah palsu untuk kepentingan Ida Roosliah penggusur 2005 dengan mengajukan PK yang sudah ditolak tersebut untuk kedua kalinya.

KESIMPULAN

Segala cara, pembiasan hukum, pemanfaatan kuasa hukum, otoritas MUSPIKA, dimanfaatkan untuk kelanggengan hubungan baik DANDIM0609- KAPolres Cimahi - walikota. Jatah proyek untuk KODIM0609, Pasar Atas Baru untuk Polres, walikota yang Cimahi Mal. Ya mungkin untuk pemasukan dana untuk MUSPIKA…. Boleh sih, kan orang-orang di kesatuan militer polisi dan pemkot kudu makan.. tapi jangan makan nasib rakyat dong.

PEngusaha kapitalis PT LBW adalah Idris yang membeli tanah itu dari Ny. Ida Roosliah (alm) yang sesungguhnya sudah menyerahkan tanah tersebut kepada yang berhak, yang menang di PNBB yaitu ahli waris Nyi Mas Entjeh (alm). Jadi ahli waris Ny. Roosliah, Ny Neni tidak berhak ‘menjual’ tanah tersebut kepada Idris. Tapi APBD sudah dikeluarkan 10miliar untuk MEMBELI tanah itu atas nama IDris….(lihat APBD 2006). Dan atas dasar kejadian ini, direstui BPN Cimahi di surat kabar, kini PEMKOT Cimahi (baca :DANDIM0609) sudah memulai pembangunan . .eh, Itoc yang melakukan peletakan batu pertama nya, pada Maret 2008. menyakitkan…

HAL YANG DIMINTA.

Siapakah yang berwenang untuk memberhentikan pembangunan infrastruktur tersebut? Apabila PNBB berwenang, kenapa tidak bertindak? Saya yakin, ada pejabat PNBB yang sering lewati jalan Raya Cibeureum dan pasti matanya tidak cukup buta karena tidak pakai kacamata kuda, untuk menyaksikan pembangunan fisik, mestinya otaknya mampu mengingat bahwa itu tanah sengketa. Apakah PNBB kalah wibawa dengan walikota? Kalau demikian, saya minta OTORITAS HUKUM DI NKRI yang berwenang di atas kedudukan hukum kota Cimahi / kabupaten Bandung, untuk menggunakan wewenangnya secara wajar.

Begitu proyek jalan, tidak ada jaminan tidak ada alokasi baru dari APBD di pemkot, atau anggaran di KODIM0609 (minimal untuk monitor, mandor) terbuang. Logikanya, berbagai mark-up harga beli bahan bangunan, fasilitas kenikmatan bagi operator, oknum kedinasan ‘terkait’, adalah praktek2 logis dan WAJAR. Ini bentuk KETIDAKADILAN karena seharusnya APBD tersebut digunakan untuk rakyat di berbagai wilayah Cimahi yang sedang kelaparan, kehilangan nafkah karena digusur, disuruh transmigrasi, diberi raskin yang tidak layak untuk manusia, dll dll. Dan seandainya bangunan sudah jadi, akan menimbulkan masalah baru dengan peruntukan yang tidak prospektif karena direncanakan tanpa kajian komprehensif baik secara ekonomi, social maupun tataran lingkungan.

AUDIT TRAIL Yang bisa digunakan KPK Untuk menyelidiki secara terbuka pada pihak pemkot Cimahi :

- APBD 2006 halaman 25 penjelasan laporan keuangannya, . .”Pemerintah Kota cimah imelakukan penyertaan modal awal kepada Perusahaan Daerah (PD) Jati Mandiri sebesar Rp 27.000.000.000,00. . . sampai dengan penyusunan laporan keuangan per 31 Desember 2006, penyertaan modal senilai Rp 27.000.000.000,00 tersebut masih berupa Kas di Bank.” (Tanya : rekening siapa, dan pendapatan depositonya ke rekening siapa?)

APBD 2007 tertera keluarnya uang 10 miliar untuk penyertaan modal BUMD Jati Mandiri dan Rp 10 miliar untuk beli tanahnya dari Ida Roosliah. APBD 2008 11 miliar (cicilan untuk total 89Miliar di tahun 2011 sesuai kesepakatan di atas kertas APBD 2006)

- mintalah bukti transaksinya, APBD 2006 sampai sekarang dan akta jual belinya dari Idris PT LBW tempat BUMD menyertakan modal.

rapat dipimpin walikota 10 Mei 2007, menyimpulkan bahwa mereka memang harus memaksakan sertifikat baru setelah ada uang dari APBD pasca PILKADA, lalu uang 10miliar yang keluar dari APBD 2007 dibayarkan kepada Idris PT LBW. ya, uang APBD nya muter2 di antara mereka2 lagi. tapi APBD euy.. duit saha eta. satu hal dalam rapat ini, dirut Jati Mandiri masih disdik Uyat yang kemudian ada kasus korupsi, jadi diganti Ajan Sujana. masalahnya juga proyek masih disebutkan Pasaraya Cibeureum (PRC). jadi konsep Cimahi Town Square dibuat mendadak pas saat mau dibongkar fisik pada awal 2008, yaitu setelah Cimahi Mal ketahuan memang secara ekonomi tidak dapat dipaksakan secara politik.. tetap pibangkruteun. jadi itoc ga berani buat yang menyerupai Cimahi mal. jadi ke Town Square.

Maka terpenuhi unsur : keuangan Negara yang dirugikan. APBD 2006, menyatakan 89 miliar akan dicicil dialokasikan untuk BUMD Jati Mandiri, hingga 2011. hingga 2008, 47miliar rupiah sudah keluar dari APBN dan entah ke mana pendapatan investasi di mananya, karena peletakan batu pertama oleh WALIKOTA (menandakan peran pemkot secara langsung dalam proyek komersial yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik) sendiri baru pada Maret 2008. Uang tersebut seharusnya nganggur, namun tidak mungkin Itoc sebodoh itu untuk uang. Jadi entah diinvestasikan sementara ke mana (biasanya sih Bank Jabar, atau karena sudah disinggung2 KPK, mungkin rekening bank atau pengusaha lain). Berarti limpahan anggaran pusat diselewengkan pemkot Cimahi untuk hal yang tidak urgent, tidak prioritas dibanding masalah kerakyatan yang makin kritis di ujung ‘mati segan hidup tak mampu’.

Jumat, 02 Januari 2009

Penertiban Pedagang Pasar Antri Rusuh

Penertiban Pedagang Pasar Antri Rusuh

Cimahi, Kompas - Proses relokasi pedagang Pasar Antri di Kota Cimahi, Selasa (23/3) berakhir rusuh. Dalam upaya penggusuran kemarin, sebagian bangunan belakang pasar berhasil dirobohkan petugas. Beberapa orang terpaksa diamankan polisi karena dianggap memprovokasi massa.

Suasana kacau mulai terjadi sekitar pukul 15.00 WIB. Beberapa pedagang pasar yang sebagian besar perempuan membentuk pagar betis, sembari membaca tahlil, menghalang-halangi kendaraan berat begu (backhoe) yang siap merobohkan bangunan pasar. Saat hujan turun, para pedagang sempat lega karena menyangka proses penggusuran akan dihentikan.

Ketika hujan mulai deras, beberapa orang laki-laki yang menghalangi begu diamankan polisi. Mereka digelandang polisi karena dianggap memprovokasi massa untuk menentang penggusuran pasar. Beberapa perempuan menjerit-jerit dan menangis histeris saat mengetahui rekan mereka ditangkap dengan cara yang mereka anggap tidak manusiawi.

Begu pun mulai menggusur bangunan pasar saat pagar betis pedagang berhasil dibubarkan. Bangunan yang dihancurkan adalah bagian belakang pasar yang umumnya dijadikan gudang. Penggusuran sempat terhenti karena beberapa pedagang belum memindahkan barang mereka. Penggusuran terus dilanjutkan hingga sore.

Proses penggusuran pasar sebenarnya telah dimulai sejak pagi hari. Semula polisi yang dibantu petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Perlindungan Masyarakat (Linmas) Kota Cimahi melakukan upaya persuasif agar para pedagang mau memindahkan barang dagangannya sendiri. Sebagian pedagang menuruti imbauan aparat, tetapi sebagian besar menolak karena belum memiliki kios atau lapak di Pasar Antri Baru.

Terlalu mahal

Menurut anggota Badan Pengawas Koperasi Mitra Antri Jaya Pasar Antri Letkol (Purn) Sutardja, para pedagang tidak dapat disuruh pindah secara tiba-tiba. Sebagian besar pedagang belum memiliki kios di lokasi baru, terlebih lagi bangunan di Pasar Antri Baru belum sepenuhnya rampung. “Kalau barang dagangan kami rusak siapa yang tanggung," ujarnya.

Sri Sugiarti, pedagang singkong dan ubi, mengaku belum membeli kios di pasar yang baru karena harganya terlalu mahal. Menurutnya, kios berukuran 2x2 meter dijual seharga Rp 46 juta. Sri juga menyayangkan pembongkaran yang dilakukan karena berdasarkan kesepakatan awal, pedagang yang belum mampu membeli kios baru dapat berdagang di lokasi lama.

Pedagang lain, Sirin menyatakan, bertahannya para pedagang di pasar lama bukan karena mereka tidak mau pindah, tetapi untuk pindah ke lokasi baru butuh waktu dan biaya.

Tengah hari, para petugas dengan berbagai peralatannya meninggalkan lokasi penggusuran setelah warga pasar menolak dengan menggelar doa di depan begu. Warga menyambut gembira perginya para petugas ini. Akan tetapi, sekitar pukul dua siang para petugas yang dibantu TNI dari Komando Distrik Militer (Kodim) 0609 Cimahi dan Gabungan Masyarakat Pengaman Cimahi (GMPC) kembali datang dan penggusuran pasar akhirnya dilakukan.

Tak terwakili

Menurut Ketua Koperasi Mitra Antri Jaya Pasar Antri (KMAJPA) Haris Setiawan, warga pasar tidak pernah diajak musyawarah oleh pemerintah terkait dengan relokasi Pasar Antri. Sejak delapan bulan lalu, KMAJPA yang beranggotakan 902 pedagang telah berusaha untuk memusyawarahkan hal ini dengan Wali Kota Cimahi. Tetapi, upaya para pedagang ini tak pernah mendapat tanggapan dari wali kota.

Berdasarkan pengumuman Pemerintah Kota Cimahi 31 Oktober 2003, pembangunan Pasar Antri Baru telah disepakati oleh tiga orang perwakilan pedagang. Mereka adalah Ketua Koperasi Pedagang Pasar Sriwijaya (Koppas Jaya) Ayub, Ketua Ikatan Keluarga Pedagang Pasar Antri (IKPPA) Atang Gibas Hermawan, dan seorang pedagang Nirwan.

“Para pedagang tidak pernah memberikan mandat kepada ketiga orang tersebut," ujarHaris. Haris menilai, Koppas Jaya dan IKPPA adalah organisasi yang tidak memiliki anggota yang jelas. (K11)