Jumat, 21 Agustus 2009

Sewindu Kota Cimahi

Oleh LIM MEI MING

Sewindu sudah Kecamatan Cimahi Tengah, Kecamatan Selatan, dan Kecamatan Utara dilebur dalam satu administrasi yang berpusat pada Pemerintahan Kota Cimahi. Prestasi Adipura pada masa ulang tahun ke delapan ini jadi kebanggaan tersendiri bagi Wali Kota Cimahi, yang menurut dia, berkat kerja sama masyarakat dan pemerintah dalam menjaga ketertiban, keindahan, dan kebersihan lingkungan.

Semboyan Kota Cimahi yang cantik menjadi jiwa dari sederet program dan kebijakan pemerintah kota yang diawali dengan proyek perdana pembangunan kawasan perdagangan terpadu, yaitu kawasan pusat perdagangan Pasar Antri. Istilah penataan kawasan perdagangan yang tertib, nyaman, indah, asri, dan cantik pun tercantum dalam surat edaran kepada pedagang Pasar Antri dan Pasar Inpres Sriwijaya saat itu. Isi surat tersebut adalah meminta dengan sukarela agar pedagang pindah ke Pasar Antri Baru yang dibangun di atas lapangan TNI-AD Sriwijaya.

Wujud dari proyek perdagangan utama yang berpacu dengan globalisasi tersebut adalah pembangunan Pasar Antri Baru dan Cimahi Mal. Namun, hingga sekarang belum tampak bangkitnya perekonomian di kawasan tersebut. Tampaknya Pasar Antri sebagai mercusuar perdagangan Kabupaten Bandung hanya tinggal legenda.

Seandainya saja Pasar Antri pada 23 Maret 2004 tidak dibongkar dan habis sama sekali serta diganti baru dengan bangunan Cimahi Mal, tetapi misalnya saja fungsinya ditingkatkan menjadi pasar grosir, tidak mustahil saat ini di Kecamatan Cimahi Tengah ada Pasar Induk Antri yang menjadi pemasok bahan kebutuhan pokok banyak pasar di kecamatan-kecamatan Kabupaten Bandung lainnya. Cimahi Mal dan Pasar Antri

Baru kini tampaknya terengah-engah dalam bersaing dengan maraknya pertokoan modern di bilangan Priangan lain, seperti Kota Bandung yang sudah padat dengan pusat perbelanjaan modern dan juga terjangkau dari Cimahi dengan transportasi umum sekalipun.

Menghancurkan Pasar Antri merupakan kecerobohan akibat kurang luasnya pemahaman sosial ekonomi, terutama potensi yang telah mengakar dalam masyarakat setempat. Dengan kelengkapan dan keberagaman jenis barang dagangan dan jasanya, ketradisionalan kawasan Pasar Antri sesungguhnya secara historis merupakan motor berkembangnya pedagang kaki lima dan pertokoan Gandawijaya serta pasar-pasar tradisional di kawasan lainnya. Selain itu, Pasar Antri juga menjadi muara dari rantai produksi dan distribusi hasil bumi di wilayah Priangan.

Oleh karena itu, untuk selanjutnya, otonomi daerah harus diperlengkapi dengan pembinaan perangkat sosial politik yang demokratis. Peran serta kalangan masyarakat pribumi menjadi prasyarat terselenggaranya alokasi dan distribusi APBD yang bermanfaat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah yang mengamanatkan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dengan memerhatikan spesialisasi, keberagaman dan kekayaan potensi, adat-istiadat, budaya, dan bidang-bidang lainnya di daerah yang bersangkutan. Timpang

Data terbaru Dinas Tenaga Kerja, Kependudukan, dan Catatan Sipil Kota Cimahi menyebutkan, 395 perusahaan terdaftar di Kota Cimahi hanya menyerap kisaran angka 72.000 pekerja usia produktif. Ini tentunya timpang dengan jumlah penduduk Kota Cimahi yang pada tahun 2007 mencapai 518.059 orang. Artinya, dari sekitar 300.000 usia produktif, hanya 25 persen yang terdaftar formal sebagai tenaga kerja dengan tingkat pengangguran terbuka 16,78 persen.

Di antara dua kelompok inilah terletak antara lain sektor informal, termasuk sektor perdagangan tradisional. Adapun potensi ekonomi Cimahi yang tumbuh secara historis dan mampu menopang kesejahteraan masyarakat sepanjang perjalanannya sebagai kewedanaan dan kota administratif adalah pasar tradisional yang berpusat di Pasar Antri, PKL, dan pertokoan tradisional. Agrobisnis hanya mencakup 15 persen di Kecamatan Cimahi Utara yang merupakan bagian integral dengan kawasan Bandung utara.

Dengan berbagai prestasi pembangunan fisik kota yang diraih, Pemerintah Kota Cimahi sebaiknya tidak hanya berbangga, tetapi juga membalas budi pengorbanan masyarakat Cimahi dengan membangun kembali perekonomian masyarakat dengan memerhatikan unsur-unsur kultur ekonomi historis.

Perekonomian masyarakat merupakan tulang punggung pembangunan kota karena bagaimanapun megahnya pembangunan fisik tidak akan bermanfaat seandainya masyarakat kota tidak memiliki penghidupan berkelanjutan yang memampukannya memelihara dan menggunakan segala fasilitas fisik yang terbangun indah. Jika keadaannya demikian, angka-angka pembangunan kota pun bermakna semu.

Tahun demi tahun, 85 persen pendapatan retribusi kota merupakan kontribusi RSUD Cibabat yang tentu tidak berkaitan dengan prestasi kesehatan masyarakat. Sebesar 95,0 persen pendapatan pajak daerah berasal dari pajak penerangan jalan, yang dibayarkan masyarakat bersamaan dengan pembayaran rekening listrik setiap bulan. Artinya, mayoritas pendapatan asli daerah Kota Cimahi tidak berkaitan langsung dengan tingkat perekonomian rumah tangga. Amanat otonomi daerah

Di samping pembangunan kawasan pusat perdagangan terpadu di Pasar Antri, Pemkot Cimahi juga menargetkan dua pusat perbelanjaan modern utama lainnya, yaitu Pasar Atas Baru dan Pasaraya Cibeureum. Pembangunan Pasaraya Cibeureum terhambat akibat kasus sengketa berkepanjangan di atas tanah tersebut. Alhasil, dana penyertaan modal Pemkot di BUMD Jati Mandiri yang telah diperjuangkan bersama DPRD Kota Cimahi sebesar Rp 81 miliar menjadi dana yang menganggur dan tidak produktif.

Walaupun batu pertama sudah diletakkan Wali Kota pada April 2008, praktis tanah yang sudah dibeli dengan harga Rp 10 miliar dari APBD 2006 dengan penggusuran terakhir sekitar 14 keluarga per 6 Januari 2005 tersebut tidak dapat digunakan untuk keperluan prasarana fisik, termasuk Pasaraya Cibeureum.

Adapun Pasar Atas Baru diharapkan mampu mengobati penderitaan PKL selama empat tahun yang sejak dibersihkan dari 600 meter Jalan Gandawijaya pada 19 November 2005. Hingga kini mereka mengais rezeki di tempat, pada waktu, dan dengan cara yang tidak menentu. Merupakan tugas dan kewajiban Pemkot Cimahi dan BUMD Jati Mandiri sebagai pengelola Pasar Atas Baru nantinya untuk memastikan terfasilitasinya kebutuhan nafkah dan penghidupan masyarakat pribumi.

Konon demi pembangunan kota, warga patut berkorban. Namun, menurut penulis, apabila yang dikorbankan adalah nafkah yang lokasi usahanya pun telah terbina selama rentang dekade, pembangunan yang berorientasi fisik kuranglah bijaksana.

Otonomi sering kali dianggap sebagai peningkatan status wilayah dan pemimpin pemerintahannya, hanya karena adanya perubahan status administratif beserta alokasi anggaran terkait. Padahal, di balik kenyamanan status dan keuangan yang rutin digulirkan dari pemerintah pusat, ada tanggung jawab pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat sesuai amanat UU Otonomi Daerah. LIM MEI MING Aktivis Forum Diskusi Warga Cimahi

Kamis, 2 Juli 2009 | 17:46 WIB

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/02/17464480/Sewindu.Kota.Cimahi#


PASAR ATAS BARU LANGGAR KOMITMEN?

Wednesday, 11 February 2009 15:12

Cimahi, (PR).-
Pemerintah Kota Cimahi diharapkan meninjau ulang projek pembangunan Pasar Atas Baru yang didanai Bank Dunia dalam Urban Sector Development Reform Project (USDRP) tahun 2006 lalu. Pasalnya, projek Pasar Atas Baru dinilai melanggar tiga pilar USDRP yang fokus pada pengentasan masyarakat dari kemiskinan, pengembangan ekonomi lokal, dan peningkatan pelayanan umum.

"Pasar Atas Baru tidak mengembangkan ekonomi lokal karena nantinya yang akan menikmati adalah mereka yang mampu membayar sewa Rp 60 juta. Paling-paling pengusaha di mal-mal kota metropolitan yang akan mendatangi Cimahi," kata Liem Mei Ming, aktivis Forum Diskusi Warga Cimahi yang dihubungi "PR", Selasa (10/2).

Menurut Mei, Pasar Atas Baru tidak meningkatkan pelayanan umum, seperti halnya Pasar Antri dulu yang bisa dinikmati oleh banyak pihak rakyat pribumi. Bentuk Pasar Atas Baru tidak bisa dijadikan tempat melayani kepentingan umum karena publik Cimahi umumnya akan segan, tidak mempunyai akses, baik sebagai pembeli maupun pedagang.

Meski demikian, untuk menata kembali permasalahan konsep Pasar Atas Baru, Mei mengaku telah mengundang Bank Dunia. Mei menegaskan, Pasar Atas Baru bukan solusi ekonomi Cimahi karena struktur yang sudah hancur.

"Pemkot pun dalam posisi sulit, menyeret Bank Dunia dalam polemik karena menyediakan seratus kios saja di Pasar Atas Baru, sementara pedagang korban gusuran lebih dari itu," kata Mei.

Perlu komunikasi

Sebelumnya, anggota Social Save Guard World Bank Isono Sadoko mengatakan, perlu diadakan komunikasi antara Pemkot Cimahi dan para pedagang untuk memecahkan persoalan ini. Ia ditemui dalam diskusi bersama warga di Hotel Cimahi, Senin (9/2).

"Saya minta pemkot mendiskusikannya kembali dengan warga. Hal itu untuk mendorong adanya transparansi. Kalau memang terbukti ada kejanggalan pada projek ini dan bisa dibuktikan secara formal, kami tak segan bertindak," tutur Sadoko.

Sementara itu, Pemkot Cimahi yang diwakili staf Unit Manajemen Projek Pasar Atas Baru Dwi Retnani, mengatakan, ia akan berkonsultasi mengenai badan pengelola Pasar Atas Baru itu. Terdapat dua pilihan pengelola, yaitu Pemkot Cimahi atau BUMD Kota Cimahi.

"Dalam Pasar Atas Baru itu, kami akan menyediakan seratus kios untuk PKL dengan harga subsidi," katanya. (A-183)***Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Rabu 11 Februari 2009

Tidak ada komentar: